Hukum Barang Temuan (Luqathah) dan Barang Terpendam / Harta Karun (Rikaz)



Bismillah..


Luqathah (Barang Temuan)
“Al-luqathah” menurut bahasa artinya barang temuan, sedangkan menurut istilah syara’ ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui siapa pemiliknya.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Zaid bin Khalid, sesungguhnya Nabi SAW ditanya orang tentang keadaan emas atau mata uang yang didapat. Beliau bersabda : “Hendaklah engkau ketahui tempatnya, kemudian umumkanlah (kepada masyarakat) selama satu tahun. Jika datang pemiliknya maka berikanlah kepadanya, dan jika tidak ada yang mengambilnya setelah satu tahun maka terserah kepadamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hukum luqathah
  1. Wajib (mengambil barang itu), apabila menurut keyakinan yang menemukan barang itu, jika tidak diambil akan sia-sia.
  2. Sunnah, apabila yang menemukan barang itu sanggup memeliharanya, dan sanggup mengumumkan kepada masyarakat selama satu tahun.
  3. Makruh apabila yang menemukan barang itu tidak percaya pada dirinya untuk melaksanakan amanah barang temuan itu dan khawatir ia akan khianat terhadap barang itu.
Kewajiban Bagi Orang yang Menemukan Barang
  1. Wajib menyimpannya dan memelihara barang temuan itu dengan baik.
  2. Wajib memberitahukan dan mengumumkan kepada khalayak ramai tentang penemuan barang tersebut dalam satu tahun.
    Rasulullah SAW bersabda :
    “Siapa yang menyimpan barang yang hilang maka ia termasuk sesat kecuali apabila ia memberitakan kepada umum dengan permberitahuan yang luas”. (HR. Muslim).
  3. Wajib menyerahkan barang temuan tersebut kepada pemiliknya apabila diminta dan dapat menunjukkan bukti-bukti yang tepat.
    Jika benda yang ditemukan itu termasuk benda yang harganya murah, maka pengumuman itu cukup tiga harri dengan perkiraan yang punya benda itu sudah tidak memerlukannya lagi. Setelah itu yang menemukan benda itu boleh memanfaatkannya, dan jika yang punya benda itu datang mengambilnya setelah benda itu dimanfaatkan, maka yang memanfaatkannya harus bersedia untuk menggantinya.
    Jika yang ditemukan itu memerlukan biaya perwatan, seperti binatang ternak, maka biaya perawatan itu dibebankan kepada pemiliknya. Jika sudah beberapa bulan belum juga datang, maka hewan itu boleh dijual atau dipotong untuk dimakan dan jika pemiliknya datang, maka hasil penjualan hewann itu diserahkan kepada pemiliknya atau hewan yang dipotong itu diganti harganya.
    Rasulullah SAW bersabda :
    “Maka jika datang orang yang mempunyai barang tersebut, maka dialah yang lebih berhak atas barang itu.” (Hr. Ahmad).
     


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb

Jika kita menemukan uang yang cukup banyak, apakah uang itu kita pergunakan aja atau gimana ?, karena kita tidak tahu siapa yang punya.

Jawaban:

Wa'alaikum Salam Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du.

Kasus yang terjadi pada anda itu dalam bab fiqih disebut sebagai barang LUQATHAH, atau barang temuan. Dan untuk itu ada aturan hukum tersendiri yang telah ditetapkan dalam syariah. Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan / sikap yang harus dilakukan.

BILA MENEMUKAN BARANG HILANG, APA YANG HARUS DILAKUKAN ?
a. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang itu bilang barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki sendiri, maka hukumnya haram.
b. Al-Malikiyah mengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk menyimpannya.
c. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah, maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari kehilangan.
d. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya.

KEWAJIBAN ORANG YANG MENEMUKAN BARANG HILANG
Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW , "Umumkanlah selama masa waktu setahun". Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya.

BILA TIDAK ADA YANG MENGAKUI
Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan barang temua itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra. dan Imam Ahmad bin Hanbal ra.
Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

5 komentar:

Sejarah Hadis pada Masa Sahabat dan Tabi'in


Masa Sahabat
 I.        Pengantar
Sahabat adalah mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw  dalam keadaan mu’min dan meninggal dalam keadaan mu’min.
Selain memperhatikan al-Qur’an, pada masa ini Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadis.
Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk menyampaikan hadis kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir saat hadis disampaikan.
ألا ليبلغ الشاهد الغائب (أخرجه ابن ماجه)
“Ingatlah, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (HR. Ibn Majah).
II.      Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis.
Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan  riwayat (Taqlil al-Riwâyah), di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis.
Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan. Dari suasana itu muncul pemalsuan hadis.
III.    Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
1.       Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti : 
Metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan permasalahan pada Al-Qur’an. Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain :  ‘Apakah ada yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan  riwayat (Taqlil al-Riwâyah).
Seusai meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan نحو هذا , كما قال  atau kata yang sejenisnya.
2.       Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya.
Mencari hadis dari perawi lain.
Meminta kesaksian selain periwayat.
IV.    Cara Meriwayatkan Hadis
Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal meriwayatkan dengan lafzi adalah Abdullah bin Umar.
Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.
 Masa Tabi’in
I.        Hadis pada Masa Tabi’in
Tabi’in adalah mereka yang bertemu dengan sahabat nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman.
Wilayah kekuasaan Islam sudah meluas. Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan Spanyol. Hingga beberapa sahabat hijrah ke wilayah tersebut demi mengemban tugas.
Pada masa ini hingga akhir abad pertama, banyak di antara tabi’in yang menentang penulisan hadis. Di antaranya: Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi (72 H), Ibrahim bin Yazid al-Taimi (92 H), Jabir bin Zaid (93 H) dan Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i (96 H). Larangan penulisan tersebut karena :
Khawatir pendapatnya ditulis bersisian dengan hadis sehingga tercampur. 
Larangan tersebut hanya pribadi, sementara murid-muridnya dibiarkan mencatat.
II.      Metode Tabiin dalam Menjaga Sunnah Nabi Saw.
1.       Menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat.
2.       Menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan dhabit.
3.       Meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari perawi lain.
4.       Melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa  aslinya.
III.    Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.). Dia menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi. Selain itu khalifah  juga memerintah Ibn Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhri (50-124 H) untuk menghimpun hadis Nabi SAW.
Semboyan al-Zuhri yang terkenal al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
IV.   Motif Umar bin Abdul Aziz
1.       Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum dibukukan.
2.       Untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari Hadis-hadis maudhu' (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab.
3.       Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya Al-Qur’an dan hadis,  keduanya sudah bisa dibedakan. Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam.
4.       Ada kekhawatiran akan hilangnya hadis karena banyak ulama Hadis yang gugur dalam medan perang.
V.     Kodifikasi Hadis Pada abad kedua
Kitab hadis yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in, belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu', mauquf dan maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan dan dla'if.
Kitab Hadis yang masyhur :
1.       Al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah hadis yang terkandung dalam kitab ini kurang lebih1.720 hadis.
2.       Musnad al-Syafi'i - mencantumkan seluruh hadis dala kitab "al-Umm".
3.       Mukhtalif al-Hadits - karya Imam Syafi'i - menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi satu sama lain.
VI.   Kodifikasi Hadis Pada abad ketiga
Pada abad ke-3, yang berperan adalah generasi setelah tabi’in.
Telah diusahakan untuk memisahkan hadis yang shahih dari Al-Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam kitab hadis, yaitu :
1.       Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim)
2.       Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,
3.       Al-Darimi) - berisi hadis shahih dan hadis dha'if yang tidak munkar.
4.       Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli hadis untuk bahan perbandingan.

 sumber http://pusatkajianhadis.com

0 komentar:

Sejarah Periwayatan Hadits

Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menjadikan ilmu hadits sebagai salah satu ilmu yang mulia di dalam islam, yang dengannya agama yang mulia ini selamat dari kepalsuan-kepalsuan yang diadakan oleh orang-orang yang tidak menyenangi tegaknya syari'at yang dibawa oleh Rasullah SAW, shalawat dan salam kepada Nabi junjungan alam, Nabi yang mulia, Muhammad SAW, sebagai manusia terbaik yang pernah lahir di alam dunia ini, semoga kita termasuk sebagai pengikutnya yang setia dalam mempertahankan kemurnian sunnahnya hingga akhir zaman kelak.
Makalah sederhana kami yang berjudul "Sejarah Periwayatan Hadits"  ini merupakan salah satu kajian penting dalam bidang ilmu hadits, karena di dalamnya dibahas keadaan periwayatan hadits pada tiga zaman awal islam. Yaitu zaman Nabi SAW, zaman sahabat, dan zaman sesudah sahabat atau yang lebih populer dengan sebutan tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
Selanjutnya, Kami menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih terdapat berbagai macam kekurangan. Oleh Karena itu, kritik dan saran yang disampaikan dengan I'tikad yang baik sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk penyempurnaan makalah ini selanjutnya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada bapak pembimbing kami dalam mendalami Ulumul hadits, yaitu Bapak Dr.Ali Masrur M.Ag yang telahbanyak memberikan inspirasi dan dorongan kepada kami hingga kami menyelesaikan malakalah yang sederhana ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit kontribusi dalam membangun sebuah wawasan yang luas dalam ilmu-ilmu hadits bagi pembaca sekalian

Tim Penyusun


Sejarah Periwayatan Hadits
A.    Pengertian Periwayatan Hadits
Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat adalah kegiatan penyampaian dan penerimaan hadits, serta penyandaran hadits tersebut kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima periwayatan hadits dari orang lain namun tidak meriwayatkannya kepada orang lain tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.[1]

B.     Cara Nabi Menyampaikan Hadits
Jika kita menelaah berbagai macam hadits nabi dengan memperhatikan cara Nabi SAW dalam menyampaikannya, maka kita akan mendapati cara sebagai berikut:
a.       Pada majelis-majelis Rasulullah
Rasulullah SAW secara khusus dan teratur mengadakan majelis-majelis yang berhubungan dengan pengajaran syari'at islam. Majelis-majelis yang beliau pimpin itu bukan hanya kaum pria saja, tetapi juga ada yang khusus untuk kaum wanita. Majelis-majelis tersebut tidak hanya diadakan di mesjid, tetapi juga di  rumah-rumah para sahabat. Selama pengajian tersebut, para sahabat menerima hadits Nabi SAW, kemudian mereka mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan oleh Nabi SAW dan menghafalnya. Anas bin Malik r.a berkata,"Kami berada di sisi Rasulullah SAW, mendengarkan hadits dari beliau. Apabila telah selesai, maka kami mempelajarinya kembali dan menghafalnya.[2]
b.      Pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah SAW, lalu beliau menerangkan hukumnya
Terkadang ketika terjadi suatu kasus, dan Rasulullah SAW menyaksikan peristiwa itu, beliaukemudian menjelaskan hal-jhal yang berhubungan dengan peristiwa tersebut.[3]
c.       Pada peristiwa yang dialami oleh kaum Muslimin, kemudian mereka  menanyakan tentang hukumnya kepada Rasulullah SAW
Terkadang para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya dan juga yang berhubungan dengan orang lain. Kemudian mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW.[4]
d.      Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para sahabat mengenai apa yang terjadi atau dilakukan oleh Nabi SAW.
Banyak sekali peristiwa yang terjadi atau yang berhubungan dengan diri Rasulullah SAW, yang disaksikan langsung oleh para sahabat, misalnya yang berhubungan dengan maslah-masalah inbadah, perjalanan Rasulullah, keadaannya, sifat-sifatnya, dan lain sebagainya.[5]

C.    Periwayatan Hadits dari Zaman Nabi hingga Zaman sesudah Generasi Sahabat
a.       Periwayatan hadits pada zaman Nabi
Hadits yang diterima oleh para sahabat sangat cepat tesebar di masyarakat.Karena para sahabat sangat bersemangat untuk memperoleh hadits Nabi dan menyebarkannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
'Umar bin Khattab r.a telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi SAW. Kata 'Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau yang berkenaan dengan Nabi, maka dia segerqa menyampaikan hal tersebut kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, sahabat yang tidak sempat hadir bersama Nabi SAW, juga tetap dapat mengetahui hal-hal yang disampaikan oleh Nabi SAW, melalui sahabat lain yang mendengarnya.[6]
b.      Periwayatan hadits pada zaman sahabat Nabi
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya masa al-khulafa al-Rasyidin. Masa ini terhitung sejak wafatnya Nabi Saw pada tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun ke-11 Hijriah,[7] hingga tahun ke-40 Hijriyah,[8] yang disebut juga dengan masa sahabat besar. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Abu Bakar r.a adalah orang yang pertama kali menunjukkan kehati-hatiannya dalam menerima khabar yang berkaitan dengan Nabi SAW.[9]
Pada masa ini, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an yang mana mendapat prioritas pertama untuk disebarkan keberbagai wilayah dan pelosok masyarakat islam. Dengan demikian, periwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan masih dibatasi periwayatannya. Oleh karena itu, masa ini dianggap oleh para ulama sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau meperketat periwayatan.[10]
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat tidak lagi menetap di kota Madinah. Mereka menyebar menjelajahi kota-kota lain. Konsekuensinya, penduduk kota-kota lain pun mulai menerima ajaran islam, termasuk hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, periwayatan hadits mulai berkembang di kalangan Tabi'in.[11]
Sebaliknya, periwayatan hadits pada masa permulaan sahabat masih terbatas sekali. Seseorang yang menerima hadits tidak harus menyampaikan hadits itu kecuali jika diperlukan. Artinya, jika masyarakat mengahadpi suatu masalah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan membutuhkan penjelasan dari hadits, maka pada saat itu periwayatan hadits dapat dilakukan.[12]
c.       Periwatan hadits pada zaman sesudah Tabi'in dan Tabi'ut-tabi'in
Sebagaimana pada masa sahabat Nabi, pada masa Tabi'in juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan periwayatan hadits. Meskipun keadaan mereka tidak seberat yang dialami oleh para sahabat, yang mana pada masa ini, Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bercampur dengan hadits-hadits Nabi. Selain itu, pada akhir periode Khulafaur Rasyidin, para sahabat yang mengetahui dan menghafal hadits telah benyak menyebar kebeberapa wilayah yang dikuasai Islam. Ini menimbulkan kemudahan bagi para Tabi'in untuk mempelajari hadits dari mereka.[13]
D.    Bentuk dan Susunan Hadits Nabi dalam Periwayatan
a.       Tatacara periwayatan hadits (Tahammul wa Al-Ada)
Dalam proses periwayatan hadits, ada delapan cara atau pun metode, yaitu:
1)      Sima' (mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan maupun dari kitabnya, sementara hadirin mendengarnya, baik mejelis itu untuk imla' ataupun untuk yang lainnya. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat yang tertinggi. Ada juga yang berpendapat bahwa mendenga dari seorang guru disertai dengan menuliskannya lebih tinggi daripada mendengar saja tanpa menulisnya. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sementara murid menulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada penerimaan setelah imla'. Dan mendengar dalah cara yang mula-mula ditempuh oleh seorang periwayat hadits.[14]
2)      Qira'ah 'ala al-Syaikh (membaca dihadapan seorang guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-'aradh (penyodoran). Ada juga yang menyebutnya 'ardh al-qi'ra'ah (menyodorkan bacaan), karena di dalam konteks ini, seorang murid menyodorkan bacaannya kepada gurunya. Maksudnya, seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti, sedangkan guru memperhatikan atau menyimaknya baik dengan hafalannya ataupun dari naskah asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti.[15]
3)      Ijazah,yaitu sertifikasi atau rekomendasi. Ini merupakan metode tahammul yang baru dan berbeda dengan kedua metode di atas. Namun masih tetap pada batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang telah diijazahkannya. Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah, kecuali untuk kalangan tertentu dari para pengikut ulama hadits yang berstatus tsiqah, dan hadits yang di ijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits atau juz atau kitab.[16]
4)      Al-Munawalah, yaitu seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab hadits kepada seorang muridnya seraya berkata,"Inilah hadits-haditsku atau inilah riwayat yang kudengar," tanpa mengatakan," Riwayatkanlah dariku, atau atau ku memperbolehkanmu untuk meriwayatkannya dariku." Sebagian ulama membolehkan metode ini dan sebagian lagi tidak memperbolehkannya. Munawalah yang paling tinggi statusnya adalah Munawalah yang disertai dengan ijazah.[17]
5)      Al-Mukatabah, maksudnya yaitu seorang menulis dengan tangannya sendiri atau meninta orang lain untuk menulis sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya ataupun murid yang ada di tempat yang lain lalu guru tersebut mengirimkan hadits-hadits tersebut kepada muridnya tersebut. Dalam hal ini, Mukatabah terbagi menjadi, yaiut yang disertai dengan ijazah, dan yang tidak disertai dengan ijazah.[18]
6)      I'lam al-Syaikh, maksudnya yaitu seorang syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnay dari seseorang. Tanpa menyatakan pemberian ijazah secara jelas untuk meriwayatkan darinya. Sebagian ulama berpendapat bahwa metode semacam itu harus disertai dengan ijazah agar periwayatan darinya bisa berstatus shahih.[19]
7)      Al-Washiyyah, maksudnya yaitu seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk diriwayatkan darinya. Bentuk merupakan bentuk tahammul yang amat langka.[20]
8)      Al-Wijadah, yaitu ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa adanya proses mendengar,mendapatkan ijazah, ataupun proses munawalah. Misalnya, ada seseorang yang menemukan hasil tulisan orang yang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisan tersebut, baik ia pernah bertemu ataupun tidak, baik orang itu semasa ataupun tidak, akan tetapi ada bukti mengenai kebenaran penisbatan-penisbatan yang ada dalam kitab tersebut, serta kitab tersebut merupakan kitab yang populer.[21]
Pada masa klasik, periwayatn dengan metode ini amat langka, karena yang diutamakan pada masa klasik adalah sima', bahkan ada menilai bahwa periwayatan yang hanya melaui kitab merupakan periwayatn yang dhai'f.[22]
b.      Susunan hadits Nabi dalam periwayatan
Dalam menyampaikan hadits Nabi, para sahabat menggunakan dua macam cara, yaitu:
1)      Dengan lafaz asli, atau secara lafziah. Yaitu, menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi secara langsung. Para sahabat dapat melaksanakan cara ini, karena selain kekuatan hafalan dan ingatannya, juga setelah menerima hadits dari Nabi SAW, mereka dapat mempelajari dan mengulanginya dengan penuh ketaatan dan konsentrasi. Semua sahabatmenginginkan periwatannya dengan lafaz, bukan dengan maknanya. Periwayatan hadits secara lafziah ini, tentu saja untuk hadits jyang berbentuk qauliyah (perkataan) Nabi saja. Sedangkan untuk hadits yang bersifat fi'liyah (perbuatan) dan taqririyah (keterapan) tidak dapat disampaikan dengan cara ini.[23]
2)      Dengan makna saja (ma'nawiyah). Yaitu, hadits tersebut disampaikan oleh sahabat dengan mengemukakan maknanya saja, tidak menurut lafaz-lafaz yang seperti yang diucapkan oleh Rasul. Jadi, redaksinya disusun oleh para sahabat, sedangkan isinya berasal dari Nabi SAW. Oleh karena itu, sangat banyakhadits Nabi SAW yang mempunyai maksud yang sama, namun matannya berbeda.[24]

Ikhtisar
-          Periode perkembangan periwayatan hadits ditinjau dari segi sejarah terbagi pada tiga masa, yaitu masa Nabi, masa sahabat, dan masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in .
-          Pada zaman Nabi SAW, periwayatan hadits berlangsung secara lisan serta belum mendapat prioritas karena masih turunnya ayat-ayat suci Al-Qur'an.
-          Pada zaman sahabat, periwayatan hadits hanya dilakukan jika ada suatu masalah yang memerlukan hadits dalam penjelasannya, karena adanya syarat yang sangat ketat dalam meriwayatkan hadits.
-          Pada zaman tabi'in dan tabi'ut tabi'in, periwayatan hadits mulai mendapat perhatian yang serius, karena mulai bermunculannya para pemalsu hadits.
-          Nabi SAW menyampaikan hadits pada berbagai peristiwa, tempat dan waktu. Di antaranya, yaitu: majelis rutin di mesjid, majelis di rumah-rumah sahabat, peristiwa yang dialami oleh Nabi bersama sahabat, peristiwa yang hanya dialami oleh sahabat, menjawab pertanyaan sahabat, dan peristiw-peistiwa lainnya.
-          Periwayatan hadits dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu: sima' (mendengar langsung dari seorang guru), Qira'ah 'al syaikh (membaca di hadapan guru), Ijazah (rekomendasi dari guru), Munawalah, I'lam Syaikh, Mukatabah,Washiyah dan Wijadah.
-          Dalam periwayatan hadits, terdapat dua macam susunan hadits, yaitu secara lafziyah dan secara maknawiyah.


Daftar Pustaka
An-Nadwi, 'Ali al-Hasan. Sirah Nabawiyah.Yogyakarta: Mardhiyah Press,2008.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaidah Keshahihan Sanad Hadits.Jakarta: Bulan-Bintang , 2005.
Pettalongi, H.M Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits.Jakarta: Gaung Persada Press,2008.Adz-Dzahabi. Tazkiratul Huffazh. Maktabah Syamilah. t.th



[1] Kaidah Kesahihan Sanad Hadits.Dr.M Syuhudi Ismail.hlm.23
[2] Antologi Ilmu Hadits.Dr.M.Noor Sulaiman.hlm.54
[3] Ibid.
[4] Ibid.hlm.55
[5] ibid
[6] Kaidah Kesahihan Sanad Hadits.Dr.M Syuhudi Ismail.hlm.38
[7] Sirah Nabawiyah.Abu Hasan'Ali al-Hasani an-Nadwi.hlm.496
[8] Yaitu tahun wafatnya Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat Kitab Tadzkiratul Huffaz karya Imam Adz-Dzahabi, bab Tabaqatul Ula min al-kitab.
[9] Ibid
[10] Antologi Ilmu Hadits.Dr.M.Noor Sulaiman.hlm.62
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid.hlm.67
[14] Ibid.hlm.138
[15] Ibid.hlm.138-139
[16] Ibid.hlm.139-140
[17] Ibid.hlm.141
[18] Ibid.hlm.141-142
[19] Ibid.hlm.142
[20] Ibid.hlm.143
[21] Ibid.hlm.143-144
[22] Ibid.hlm.144
[23] Ibid.hlm.59
[24] Ibid

Rijalul-Hadits@Aswin Ahdir Bolano

0 komentar:

Kenapa al Quran Perlu Dijelaskan oleh Hadist ??

Mudah saja menjawab pertanyaan ini, jika kita telah membaca dan mempelajari Al Qur'an, karena pernah dijelaskan oleh Allah bahwa Nabi Muhammad diutus adalah untuk menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al Qur'an. Silahkan Lihat Surat An Nahl ayat 44, yang artinya:

"Dan Kami turunkan kepadamu (Hai Muhammad) Al Qur'an ini, agar kamu (dapat) menerangkan (Bhs. Arab=bayan) pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan meraka berfikir."

Hadits didefinisikan seperti definisi As-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad, baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, apakah sebelum beliau menjadi nabi ataupun sesudahnya.

Namun perlu diingat, bahwa ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad saja, yang berkaitan dengan hukum; sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini dinamai dengan Sunnah.

Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

Bagi umat Nabi Muhammad untuk mendapatkan kesempurnaan dalam hal keagaaman kepada Allah sudah jelas harus mengikuti keduanya, yakni Al Qur'an dan As Sunnah. Mohon diingat, saat ini sudah banyak golongan yang ingkar kepada sunnah dengan doktrin bahwa Al Qur'an telah mutlak sempurna, sehingga tidak diperlukan lagi.

Nah... setelah mengerti apakah itu Hadist/Sunnah, berikut penjelasan saya tentang hubungan keduanya. Yaitu mengapa jika Al Qur'an telah sempurna koq masih harus diperlukan hadist sebagai "supplemen"?

Hadist/Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan HUKUM syara'.

Dalam kaitannya dengan Al-Quran, fungsi Hadist/Sunnah bisa diartikan sebagai:

1) apa yang diistilahkan dengan bayan ta'kid, yakni menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran,

2) apa yang diistlahkan dengan bayan tafsir, yakni memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

Bayangkan kalau Qur'an tidak ditafsirkan dengan hadist, bisa-bisa Al Qur'an akan ditafsirkan secara serampangan sebagaimana tafsir model HERMENEUTIKA yang diberlakukan kepada AlKITAB Nasrani yang konsekwensinya: Al Qur'an harus terbuka untuk terus di kritik dan bermetamorfosa, sehingga sebagai kitab suci posisinya akan luntur. Metode seperti Hermeneutika akan men'desakralisasi' teks Al Qur'an, dan menjadikan Al Qur'an tidak sempurna lagi.

0 komentar:

Dalil sholat 5 waktu di dalam al-Quran

oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc

Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.

Ayat Pertama:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud: 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang, yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghirb dan Isya`.

Ayat kedua

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78)

Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.

Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits

Sedangkan bila ingin secara lebih spesifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah SAW yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Karim. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan berkata kepadanya, "Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR Ahmad, Nasai dan Tirmizy. )

Di dalam Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat.

Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini:

Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul bintang."(HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.)

Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih

Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para fuqoha. Di antaranya yang bisa disebutkan antara lain kitab-kitab berikut ini:

Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,
Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
Kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298.

Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut:

1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)

Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.

Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor Sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.

Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh.

Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.

Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini:

"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat dan menghalalkan makan.." (HR Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim).

Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasululah SAW bersabda, "Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR Muslim)

2. Waktu Shalat Zhuhur

Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?"

Zawalus-Syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.

Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.

Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.

3. Waktu Shalat Ashar

Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar." (HR Muslim dan enam imam hadits lainnya).

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ..."Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit." (HR Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning."(HR Muslim)

Shalat Ashar adalah shalat Wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisyah ra.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat, "Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha." Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)

Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat Wustha adalah shalat Ashar." (HR Tirmizy)

Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh.

4. Waktu Shalat Maghrib

Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)." (HR Muslim).

Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam." (HR Tirmizy)

Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.

5. Waktu Shalat Isya`

Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.

Dari Abi Qatadah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya." (HR Muslim)


Sedangkan waktu muhktar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/ menunda shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizy).

Dari anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga tengah malam, kemudian barulah beliau shalat." (HR Muttafaqun Alaihi).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya` hingga tengah malam"(HR Muslim dan Nasai)

Wallahu a'lam bishshawab

0 komentar:

Mengenal Para Imam Perawi Hadits

Oleh  Agus Arifin Institute
Kita perlu mengenal para perawi hadits, yang biasanya kita membacanya rawahu.....( راوه) pada bagian bawah dari suatu teks hadits. Perawi yang terkenal adalah :
1. Bukhari  ( Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al bukhari) (194-256 H/773 -835M) beliau telah menulis Kitab Hadits yang memuat 600.000 hadits  kemudian beliau pilih lagi menjadi 100.000 hadits shahih dan 1000 hadits TIDAK shahih. Kitab Shahih Bukhari terdiri dari: 7124 Hadits Shahih al-Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap buku beliau ini adalah Al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad al-Mukhtashar min Umūri Rasūlillah Shallallahu ’alayhi wa Sallam wa Ayyamihi. Beliau menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun bukunya ini. Standar penelitian Imam Bukhari terhadap hadits adalah yang paling ketat dibandingkan ulama` hadits lainnya.
 2. Muslim ( Muslim bin al Hajjaj al Qusyairy) (204-261H/ 783-840M) menulis Kitab Shahih Muslim yang terdiri dari 7180 Hadits . Guru-guru beliau: Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Adapun murid murid beliau: Imam at-Tirmidzi, Abū Hatim ar-Razi dan Abū Bakr bin Khuzaimah termasuk. Buku beliau memiliki derajat tertinggi di dalam pengkategorisasian (tabwib).
 Kedua Ulama Ahli hadits ini biasa disebut dengan:
As Syaikhani (الشيخان ) dan kedua kitab Shahih beliau berdua disebut Shahihain (الصحيحين) sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh mereka berdua dari sumber sahabat yang sama disebut muttafaq alaih (متفق عليه )
 3. Tirmidzi atau Tumudzi (Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surat at Turmudzi atau at Tirmidzi ((209-279H) beliau adalah Murid Imam Bukhari. Kitab beliau yang terkenal, Jami’ at-Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan fiqh dengan penjelasan yang terperinci.
 4. Imam Ahmad bin Syu’aib an-Nasa`i rahimahullahu (w.303H) Buku beliau bernama Sunan al-Mujtaba. Kitab beliau lainnya adalah as-Sunan al-Kubra, dimana beberapa bagiannya telah dicetak di Bombay oleh Maulana ‘Abdush Shomad al-Katibi.
 5. Imam Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qadziani rahimahullahu (w.273H) Kitab beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ibnu Majah. Selain buku-buku diatas, banyak buku lainnya lagi yang telah dihimpun dan dicetak yang tidak dapat kita sebutkan di sini semuanya secara mendetail. Buku Bukhari, Muslim dan Timidzi disebut dengan Jami’, disebabkan buku mereka mengandung masalah ’Aqa`id, ’ibadah, akhlaq, khabar dan lainnya. Adapun Kitab Abū Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah disebut dengan Sunan, karena buku-buku ini mengandung ahadits yang menyinggung masalah duniawi (mu’amalah).
 6. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu (164-241H) Karya beliau yang paling utama adalah Musnad Ahmad yan tersusun dari 30.000 ahadits dalam 24 juz dan kebanyakan riwayat terdapat dalam buku ini. Imam Ahmad rahimahullahu tidak mengkategorisasikan bukunya menuru tema, namun beliau lebih cenderung mengkategorisasikannya menurut riwayat-riwayat sahabat berdasarkan nama-nama mereka yang meriwayatkan hadits. Ulama` mesir terkemuka, Muhaddits Muhammad Ahmad Syakir mengambil tanggung jawab mengkategorisasikan buku ini berdasarkan tema dan sejauh ini beliau telah mencetak 15 jilid dan pekerjaan beliau masih berlangsung hingga kini.
 7. Abū Dawud Asy’ats bin Sulaiman as-Sijistani rahimahullahu (204-275H) Karya utama beliau dikenal dengan sebutan Sunan Abi Dawud. Buku beliau ini, utamanya menggabungkan antara riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ahkam dengan ringkasan (kompendium) permasalahan fiqh yang berkaitan dengan hukum. Bukunya tersusun dari 4.800 ahadits. Al Khathaby mengomentari bahwa Kitab Sunan Abu Dawud itu adalah kitab yang lebih banyak fiqh-nya daripada Kitab As Shahihain.

0 komentar:

Lima Masjid Dibakar di Medan, FUI Sumatera Utara Datangi Komnas HAM



Jakarta (voa-islam) – Selama ini, media massa hanya memberitakan insiden, terkait pembakaran gereja di sejumlah daerah. Tapi giliran masjid yang dibakar, dirusak dan dibongkar oleh kelompok masyarakat tertentu, tak ada satu pun media yang mengabarkannya. Jelas ini tidak fair. Ketika gereja yang dibakar, umat Islam divonis suka melakukan kekerasan. Namun, giliran masjid yang dibakar, tidak ada yang menyebut umat agama lain sebagai umat yang intoleran. Katanya Indonesia negara hukum?

Itulah sebabnya, Senin (11 April 2011) lalu, Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUI SU) bersama perwakilan dari warga Kampung Melayu, Deli Serdang, Sumatera Utara, dengan didampingi oleh PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia) Indonesia, mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, guna melaporkan pengaduan masyarakat terkait pelanggaran HAM.

Siang itu, menjelang Asyar, Sudirman Timsar Zubil (Ketua FUI SU), Sabarudin Sagala (warga Kp Melayu Selambo), Muhammad Daud Merutu (Penasihat Himounan Tani), Herymereka diterima oleh Jhony Nelson Simanjuntak dan Bakti Eko dari Komnas HAM. Dalam pengaduannya, Ketua FUI SU menyampaikan tiga kasus sekaligus, terkait pembakaran, pembongkaran, pengrusakan masjid dan penganiayaan terhadap masyarakat di Sumatera Utara.

“Kejadian ini sudah terjadi berkali-kali dan telah menghanguskan beberapa masjid serta menyebabkan gesekan yang dapat menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Kejadian ini memang tidak terpublikasi dengan baik, karena bagi sebagian media, kasus yang korbannya adalah masyarakat Islam (muslim), dianggap tidak ‘seksi’ dan menjual untuk dijadikan topik utama pemberitaan,” kata Direktur PAHAM Nasrullah Nasution SH.

Tidak main-main, ada beberapa tindakan pembakaran dan pengrusakan masjid disertai dengan penganiayaan, antara lain:

1) Pembakaran dan pengrusakan Masjid Nur Hikmah di Dusun Lima Desa Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan.

2) Pembakaran dan pengrusakan Masjid Taqwa di Kelurahan Aek Loba, Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan.

3) Pembongkaran Masjid Al IKhlas di Jl. Timur No. 23, Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan.

4) Pembakaran rumah, pengrusakan masjid dan penganiayaan massif di Jl. Kp Melayu, Selambo, Dusun Tiga, Desa Amplas, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deli Serdang, Medan.

5) Pembakarn Masjid Fii Sabilillah di Jl. Lintas Tobasa, Lumban Lowu, Kabupaten Toba Samosir, Toba Samosir.

6) Pembakaran Masjid Besitang, Desa Selamet, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat.

PAHAM Indonesia sebagai lembaga yang concern terhadap pembelaan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan ini menyatakan: Menolak dengan tegas tindakan pembakaran dan pengrusakan sejumlah masjid di Sumatera Utara; Mendorong pemerintah dan pihak terkait agar mengambil tindakan untuk menghindari gesekan dan bentrokan antar umat beragama; dan meminta kepada Komnas HAM untuk melakukan investigasi terhadap peristiwa pembakaran dan pengrusakan masjid di Sumatera Utara, karena diduga kuat tindakan tersebut telah melanggar HAM.

Sementara itu Komnas HAM berjanji akan melakukan investigasi terhadap tindakan pemabakaran, pengrusakan dan pembongkaran sejumlah masjid di Medan, dan akan menanyakan langsung Poltabes Medan untuk mengusut dan menangkap pelaku pembakaran masjid tersebut.

Seriuskah Komnas HAM? Kita lihat saja nanti. Berita terkaitnya, akan segera dilaporkan voa-islam mengenai “Turunnya Tentara Alloh di Kampung Melayu Selambo – Deli Serdang”. Tunggu saja laporannya.

0 komentar: