Siti Musdah Mulia
Musdah Mulia (nama lengkap Siti Musdah Mulia; lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958; umur 53 tahun) adalah seorang aktivis perempuan, peneliti, konselor, dan penulis di bidang keagamaan (Islam) di Indonesia.
Musdah Mulia merupakan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian COnference on Religion and Peace), pernah menjabat sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama [1].
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Musdah_Mulia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Profil Yang ditulis sendiri:
Musdah Mulia merupakan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian COnference on Religion and Peace), pernah menjabat sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama [1].
[sunting] Pendidikan
- Menamatkan Program Sarjana (S1) di IAIN Alauddin Makassar pada 1982
- Menamatkan Program Pascasarjana (S2 dan S3) di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 1992 dan 1997.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Musdah_Mulia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Profil Yang ditulis sendiri:
“Perempuan Pembaru Keagamaan dari Fatayat NU”
………. Fatayat NU harus mempunyai visi Islam yang progresif. Jika tidak, ia akan sulit menangani berbagai problem sosial kontemporer, khususnya menyangkut masalah-masalah perempuan, seperti kekerasan domestik, buruh migran perempuan, perdagangan anak-anak dan perempuan, keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan masalah-masalah lainnya. Apa gunanya agama jika tidak mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer yang kita hadapi. Nabi Muhammad sendiri memfungsikan agama sebagai pembebas……… Saya mengenal Fatayat NU sejak tahun 1970an ketika aktif di IPPNU dan PMII wilayah Sulawesi Selatan. Pada sekitar tahun-tahun tersebut, aktivitas Fatayat NU di Makassar mengalami kevakuman. Kendati demikian, pengurusnya masih tetap ada yang pada saat itu ketua umumnya adalah Umi Aisyah, pemilik Panti Asuhan di Makassar. Pada tahun 1980, saya diminta untuk menjadi pengurus Fatayat Wilayah Sulawesi Selatan dan pada waktu yang bersamaan ada surat dari Jakarta yang mengabarkan bahwa akan mengaktifkan kembali Fatayat Makassar dengan menyelenggarakan kegiatan workshop UU Perkawinan.
Dua tahun berikutnya, yakni tahun 1982, saya menjadi Ketua Umum Fatayat Wilayah Sulawesi Selatan hingga tahun 2000 (selama dua periode). Pada tahun 1989, saya mengikuti Kongres Fatayat di Jakarta dan diajak masuk dalam kepengurusan PP yang baru sebagai wakil sekjen. Selanjutnya, pada 1990, saya ke Jakarta meneruskan kuliah Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah. Pada tahun yang sama, saya diminta oleh sahabat Mahfudhoh Ali Ubaid untuk menjadi sekretaris umum karena sekretaris umum terpilih, yakni sahabat Chisbiyah Rochim lebih memilih untuk aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan ada aturan tidak boleh merangkap jabatan, saya yang semula menjadi sekretaris I bergeser posisinya menjadi Sekretaris Umum.
Saya efektif menjadi pengurus PP Fatayat selama dua periode (1990-2000). Periode pertama sebagai Sekum, periode selanjutnya sebagai wakil ketua. Sebagai orang yang bukan dari Jawa, saya sendiri tidak merasa dikucilkan di lingkungan ini. Hanya saja terasa “lain” ketika saya ke daerah sekitar Jawa Pada Kongres XI PP Fatayat, utusan-utusan wilayah non Jawa, seperti Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, berkoalisi mencalonkan saya menjadi Ketua Umum. Ganjalan pun menghadang, yakni satu cabang, satu suara. Karena yang banyak cabang Fatayat adalah Jawa, misalnya Jawa Barat 40-an, Jawa Timur 45 cabang, Jawa Tengah sekitar 40-an, sementara Sulawesi hanya 20 cabang, Kalimantan Selatan hanya 13 cabang. Jika suara-suara dari Jawa ini digabung dengan daerah-daerah non Jawa, maka tidak akan menyaingi jumlah suara yang berasal dari Jawa. Karena pemilih dari Jawa ini jauh lebih banyak suaranya dibanding daerah-daerah lainnya, maka saat itu saya tidak bisa menggungguli calon dari Jawa. Dari dulu NU selalu mengandalkan basis massa dari Jawa, terutama dari Jawa Timur.
Wacana Gender dan Pendidikan Politik Perempuan
Pada periode kedua ketika Sri Mulyati Asrory tidak aktif sebagai ketua umum Fatayat, karena ia harus meneruskan sekolahnya ke Kanada, kepemimpinan Fatayat dipegang secara kolektif oleh ketua-ketua. Gagasan kepemimpinan kolektif ini sesungguhnya tidak ada dalam AD/ART. Ini benar-benar inisiatif pengurus. Saat itu kita mulai dengan merumuskan rencana program kerja yang bekerja sama dengan beberapa penyandang dana asing dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Pada masa ini pun kita mulai dengan program “Training Analisis Gender” kerja sama dengan Ford Foundation.
Dalam pelaksanaan training ini, kita mengundang para ulama untuk workshop. Pada saat itu awalnya para kyai marah-marah karena dianggap mengadopsi pikiran-pikiran Barat. Kita mengadu pada Gus Dur tentang masalah ini. Gus Dur menanggapinya dengan mengatakan, “Kalian keliru, jangan menggunakan istilah gender, gunakan istilah lain yang tidak menimbulkan penolakan para kyai”. Pada saat itu akhirnya kita menggunakan istilah “Latihan Pemberdayaan Perempuan” dan “Hak-hak Reproduksi Perempuan”.
Saya menyadari bahwa untuk mensosialisasikan ide kesetaraan laki-laki dan perempuan di lingkungan NU ini tidaklah mudah. Jangankan di tingkat ranting, cabang dan wilayah, pada tingkat pengurus pusat sendiri tidak sekaligus. Harus berulang-ulang. Pemahaman bahwa perempuan yang utama adalah di rumah, masih sangat kuat. Kita mempunyai pengalaman pahit ketika kita ditolak oleh Pengurus NU Jawa Tengah saat akan menyelenggarakan pelatihan gender. Tetapi saat itu kita tidak kehilangan akal. Kita mengatur kembali strategi bagaimana supaya mereka bisa menerima. Akhirnya kita menggunakan istilah-istilah yang cukup akrab dengan kultur NU. Pada akhirnya mereka pun menerima.
Ketika kita mensosialisasikan gagasan kesetaraan gender di Fatayat, sesungguhnya kita sedang membangun usaha demokratisasi dalam unit terkecil masyarakat, yakni keluarga. Kita membentuk kesadaran kalangan perempuan bahwa kita harus bisa menentukan pilihan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Kita bebas menyuarakan pendapat dan jangan sekali-kali mau dibodohi. Kita tidak memilih cara-cara demonstrasi di jalanan, tetapi lebih memilih cara-cara yang persuasif.
Dari berbagai pelatihan gender yang telah dilakukan, anggota Fatayat di berbagai wilayah, cabang, bahkan ranting tidak asing ketika kata “gender” disebut. Di samping di lingkungan NU sendiri lumrah ketika perempuan aktif dalam domain publik, terutama di dunia politik. Pelatihan gender ini semakin memperkuat kesadaran perempuan akan hak-haknya sebagai perempuan, meskipun terkadang mereka tidak bisa menghindar dari “peran ganda”.
Pada kurun waktu ini pun kita menggulirkan kesadaran hak-hak politik perempuan. Saat itu kita menyadari bahwa NU ini merupakan massa politik yang besar, diperebutkan oleh banyak partai, tetapi masih banyak perempuan NU, terutama pada tingkat akar rumput yang masih buta politik. Pada suatu acara seminar, saya pernah menyatakan bahwa istri boleh berbeda mencoblos partai dengan suaminya. Mendengar pernyataan ini, sebagian perempuan peserta seminar terkejut. Dulu tidak pernah terpikir bahwa dalam satu rumah bisa berbeda partai. Dianggapnya memilih partai sama dengan memilih agama. Dalam program “Pendidikan Politik Perempuan untuk Masyarakat Akar Rumput” ini, kita menggunakan media karikatur yang menyatakan pesan-pesan bahwa suami dan istri boleh berbeda dalam memilih partai politiknya.
Sesungguhnya pada berbagai pelatihan tersebut, ada tiga isu yang kita perkenalkan: Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan dan keadilan gender, dan demokrasi. Kita tidak bisa memisahkan ketiga isu tersebut jika bicara tentang hak-hak perempuan. Kendati pada akhirnya yang menonjol adalah isu kesetaraan gender.
Dalam lingkungan NU sendiri terdapat Maklumat akan pengakuan tentang kesetaraan gender yang dikeluarkan pada Munas NU di Lombok pada tahun 1997. Munas tersebut melahirkan suatu keputusan atau maklumat tentang “Kedudukan Perempuan Dalam Islam” (Makanah al-Mar’ah fil Islam). Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam maklumat tersebut dapat disimpulkan dalam 5 (lima) poin berikut:
1) Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh dan karenanya patut dihormati;
2) Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa;
3) Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena perbedaan kodrati;
4) Islam mengakui peran publik perempuan di samping peran domestiknya; dan
5) Ajaran Islam yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki itu dalam realitasnya telah mengalami distorsi akibat pengaruh kondisi sosial dan budaya.
Walaupun maklumat ini sangat fundamental dalam mendukung gerakan perempuan di lingkungan NU, namun tetap diakui masih terasa bias nilai-nilai patriarki di dalamnya, seperti terbaca dalam pernyataan bahwa: “peran domestik perempuan yang hal itu merupakan kesejatian kodrat wanita, seperti sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka”. Artinya, dalam maklumat itu pemahaman tentang kodrat perempuan masih bias gender. Namun, setidaknya, maklumat itu telah menegaskan pengakuan akan kebolehan kaum perempuan berkiprah di dunia publik yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum laki-laki.
Namun, yang dianggap sangat mendasar adalah bahwa di akhir maklumat terbaca komitmen NU yang kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU juga menyatakan komitmennya untuk ikut memprakarsai transformasi kultur kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Bagi kalangan perempuan, khususnya bagi organisasi perempuan di lingkungan NU, maklumat ini merupakan dokumen historis yang amat strategis yang dapat dijadikan dasar legitimasi dan advokasi bagi upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang sebelumnya masih sangat kontroversial di lingkungan NU. Maklumat itu amat menggembirakan. Betapa tidak, NU yang didirikan pada 1926 itu memerlukan kurun waktu selama kurang lebih 71 tahun (1997) untuk dapat melahirkan suatu maklumat yang mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. Keputusan Munas tentang kedudukan perempuan ini muncul dalam konteks pembahasan masalah-masalah agama tematis (Masail Diniyyah Maudlu’iyyah). Pembahasan itu mencakup empat tema pokok: 1) Nashbul Imam (Kepemimpinan dan Demokrasi; 2) Hak Asasi Manusia dalam Islam; 3)Kedudukan Wanita dalam Islam; dan 4) Soal Reksadana.
Menarik dicatat bahwa Munas kali ini secara intens membahas masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), dua isu yang sedang menjadi tema pokok dalam setiap diskursus ilmiah, baik dalam forum nasional maupun internasional. Kedua isu itu amat terkait dengan pembicaraan soal kesetaraan gender yang menjadi isu global saat ini. Untuk menyatakan dirinya sebagai organisasi pendukung nilai-nilai demokrasi dan HAM, mau tidak mau NU harus juga menerima ide kesetaraan gender yang tentu saja dalam implementasinya pada program organisasi disesuaikan dengan tradisi dan nilai-nilai keislaman yang dianut NU.
Maklumat itu sangat strategis dan sangat signifikan, terutama dalam memberi justifikasi upaya-upaya pemberdayaan perempuan di lingkungan NU. Sehingga organisasi-organisasi perempuan yang menjadi Badan Otonom NU, seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU merasa lebih mantap dalam mengelola dan mengembangkan program-program yang berkaitan dengan pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan perempuan.
Sayangnya, setelah Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang melahirkan maklumat itu, tidak tampak respons yang serius di jajaran Pengurus Besar NU untuk menindaklanjuti atau mengelaborasi keputusan tersebut dalam bentuk program kerja. Sebab, sebuah kesadaran baru tentu tidaklah berhenti sebagai maklumat belaka. Tentu dirasa perlu ada langkah-langkah konkret dari NU sendiri untuk menjabarkan isi maklumat tersebut sehingga komitmen NU itu tidak terhenti hanya pada tataran wacana. Dan seringkali ide-ide besar NU hanya terhenti pada tingkat wacana sebelum masuk ke tingkat aksi.
Pasca Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Lombok tahun 1997, terdengar suara-suara yang menyerukan perlunya wakil perempuan dalam kepengurusan PBNU mendatang. Yang menarik, harapan itu bukan hanya datang dari kalangan intern organisasi perempuan NU, melainkan juga dari kaum laki-lakinya, khususnya dari lingkungan generasi muda NU. Tokoh NU yang dikenal banyak merespons harapan tersebut, di antaranya adalah KH Said Agil Siradj, salah seorang wakil ketua PBNU. Dalam beberapa kesempatan, misalnya pada acara pembukaan “Latihan Pemberdayaan Hak-Hak Perempuan” yang diselenggarakan Fatayat NU pada 21 April 1998, beliau menjanjikan akan mengupayakan masuknya perempuan dalam struktur kepengurusan PBNU mendatang.
Tuntutan mengenai perlunya keterwakilan perempuan dalam PBNU selanjutnya dinyatakan secara resmi oleh organisasi Muslimat NU. Dalam seminar yang bertemakan “Membuka Cakrawala Baru Perempuan di NU” yang diselenggarakan PP Muslimat NU pada 10 November 1999 di Jakarta, beberapa hari menjelang pelaksanaan Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Seminar tersebut antara lain merekomendasikan perlunya langkah-langkah konkret NU untuk merealisasikan isi maklumat NU 1997 tersebut dalam bentuk merekrut kalangan perempuan NU untuk didudukkan pada struktur kepengurusan PBNU yang akan datang, baik pada tingkat Syuriyah maupun pada tingkat Tanfiziyah.
Kita sesungguhnya mengusahakan bagaimana perempuan bisa masuk dalam jajaran pengurus PBNU. Hal ini karena jika ada kebijakan atau pembahasan tentang perempuan dalam NU, kita bisa bersuara. Hanya saja sampai sekarang usulan itu belum bisa diterima. Barangkali para kyai berfikir ingin melindungi (protection), tetapi yang terjadi adalah marjinalisasi. Bahkan dalam bahsul masail pun perempuan tidak pernah diikutsertakan sebagai subyek, paling banter sebagai ”penonton”.
Seputar Counter Legal Draf atas Kompilasi Hukum Islam
Nilai-nilai Ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA) yang selama ini menjadi landasan Jam’iyyah NU, sejauh yang saya cermati dan pelajari sesungguhnya sangat liberal. Pemahaman ini muncul karena saya banyak membaca literatur Islam. Gagasan-gagasan “liberal Islam” yang saya gulirkan sesungguhnya bukan ijtihad baru dan tidak mengubah ajaran dasar Islam sedikit pun. Kita hanya mengumpulkan ijtihad yang sudah dilakukan dan mengedepankan ijtihad yang progresif yang selama ini tidak pernah dikedepankan. Dengan kata lain, saya hanya menggali penafsiran Islam yang sudah lama tidak mempunyai kesempatan untuk ditampilkan.
Hal ini pula yang melandasi mengapa saya dengan teman-teman merancang Counter Legal Draf atas Kompilasi Hukum Islam. Draf ini memang tidak ada kaitannya dengan Fatayat NU, karena program ini dirancang oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI dimana saya sebagai ketuanya. Tetapi bahwa gagasan ini muncul tidak lepas dari fakta kuatnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, maraknya perkawinan yang tidak dicatatkan, poligami, prostitusi, kawin kontrak, perkawinan dibawah umur, dan lain-lain. Soal kawin kontrak, misalnya, kita menghadapi persoalan banyaknya perempuan yang dikawini oleh laki-laki berkewarganegaraan asing (WNA), terutama dari Arab Saudi dengan istilah “satu paket” hanya dengan membayar maskawin Rp. 200. 000. Tidak jarang yang mengawinkan pun para kyai. Laki-laki Arab itu dulunya datang ke tempat-tempat hiburan malam di Bangkok, Hongkong dan negara-negara lain. Kini mereka beralih ke Indonesia setelah peristiwa pengeboman World Trade Centre (WTC) di Amerika Serikat pada 11 Sepetember 2001. Mengapa pilihannya Indonesia?, karena di sini aman dan lagi pula murah sekali istilah mereka rakhis jiddan. Yang memprihatinkan bahwa para orang tua pun berlomba-lomba menyodorkan anak gadisnya yang masih di bawah umur kepada laki-laki Arab itu dengan harapan dapat dikawini untuk mendapatkan ”berkah” karena mereka meyakini yang datang itu adalah keturunan Nabi. Para ulama tidak mempermasalahkan hal itu karena menurut mereka itu bukan perzinahan, melainkan perkawinan yang sah. Memang jika dilihat dari definisi nikah ala Imam Syafii, perbuatan itu dapat dikategorkan sebagai perkawinan. Namun, apakah kita hanya melihat aspek teologisnya saja dan melupakan dampak sosial yang ditimbulkan. Sekarang di daerah sekitar Jakarta-Bandung, khususnya di daerah Gunung Putri, Bogor ditemukan sejumlah bayi berwajah Arab yang tidak diketahui siapa ayahnya, sementara ibunya masih di bawah umur dan sudah menjadi janda. Bagaimana masa depan anak-anak dan ibu-ibu muda tersebut? Mereka tidak punya perlindungan hukum sama sekali. Ana-anak tersebut tidak punya Akta Lahir sedang ibu mereka juga tidak punya Akta Nikah. Akta Lahir bagi seorang anak hanya bisa diperoleh jika orang tuanya punya Akta Nikah. Menghadapi problem sosial seperti ini sudah waktunya kita mengkritisi definisi nikah yang selama ini kita perpegangi. Apakah nikah itu sekedar untuk melampiaskan hasrat biologis? Apakah rukun nikah cukup hanya dengan lima aspek, ijab qabul, calon suami, calon isteri, wali dan saksi? Perlu ada ijtihad baru agar dapat merespon persoalan sosial yang muncul di masyarakat.
CLD atas KHI ini menawarkan perlunya pencatatan dimasukkan menjadi salah satu rukun nikah sehingga tanpa dicatatkan perkawinan itu tidak sah. Hal ini untuk mencegah timbulnya perkawinan sirri, perkawinan di bawah umur, perkawinan kontrak dan berbagai bentuk perkawinan yang sangat berpotensi mengeksploitasi perempuan dan menimbulkan korban di kalangan anak-anak.
Dari lingkungan NU sendiri tidak ada penolakan yang berarti terhadap CLD KHI ini. Barangkali mereka sudah terbiasa dengan perbedaan. Dukungan terbesar justru datang dari kalangan akademik, terutama dari luar negeri dimana kita bisa menemukan kurang lebih 80 tulisan yang membahas tentang CLD KHI untuk kepentingan tesis dan disertasi. Mereka sangat antusis terhadap perubahan hukum keluarga yang muncul dari Indonesia. Salah satu pasal yang dianggap maju adalah tentang perlindungan anak di luar nikah (ekstra marital chidren). Draf ini dianggap maju karena meletakkan tanggung jawab pemeliharaan anak di luar nikah pada individu, yakni pada ibu dan ayah biologisnya, bukan pada tanggungjawab negara sebagaimana dalam hukum keluarga Eropa. Draf ini pun pernah diseminarkan di beberapa universitas ternama, seperti di Harvard University, Amerika Serikat, di Inggris, Singapura, dan lain-lain. Pada beberapa universitas di dalam negeri pun sudah menjadi kajian akademis dan dihargai sebagai karya intelektual.
Penolakan cukup tajam terhadap CLD KHI ini muncul dari kelompok “Islam Puritan”. Saya pernah diundang dalam seminar di Yogyakarta dan dipanelkan dengan Ketua Front Pembela Islam (FPI), Hizbut-Tahrir dan Majlis Mujahidin. Pada forum ini mereka mempertanyakan, mengapa harus ada pencatatan dalam perkawinan sebagai salah satu rukun nikah, bukankan Nabi sendiri tidak melakukannya? Saya jawab, “Jangankan pada masa Nabi Muhammad yang hidup pada abad ke-7, perkawinan Nenek dan kakek saya pun tidak ada pencatatan pernikahannya. Tetapi pada masa itu barangkali tidak menjadi masalah, karena para saksinya masih bisa dipercaya. Pada jaman kita sekarang, salah satu bukti yang menunjukkan seseorang merupakan pasangan suami istri adalah akte nikah. Argumen teologisnya, kita dapat berqiyas ke ayat 282 al-Baqarah yang mewajibkan pencatatan dalam transaskri hutang-piutang. Kalau dalam utang piutang saja wajib dicatatkan, apalagi transaksi perkawinan yang nota bene merupakan transasksi paling penting dalam hidup manusia.
Dalam hal ini, hemat saya, Fatayat NU harus mempunyai visi Islam yang progresif. Jika tidak, maka ia akan sulit menangani berbagai problem sosial kontemporer yang terkait dengan masalah-masalah perempuan, seperti kekerasan domestik, buruh migran perempuan, perdagangan perempuan, keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan lain-lain. Hemat saya, apa gunanya agama jika ia tidak mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer yang kita hadapi. Bukankah Nabi Muhammad sendiri memfungsikan agama sebagai pembebas, mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi umat, mengatasi moralitas masyarakat pada jamannya, menghapus perbudakan dan mengangkat martabat perempuan sebagai manusia yang utuh.
Jaringan Fatayat
Pada masa kepengurusan saya mulai dibangun jaringan kerja sama dengan LSM-LSM perempuan yang bergerak pada berbagai isu. Kepentingan kita pada waktu itu awalnya adalah meminta teman-teman dari berbagai LSM tadi sebagai narasumber, karena merekalah yang sudah lebih dahulu mengakses perspektif kesetaraan gender, mempunyai keterampilan melatih dan mengetahui bahan-bahan bacaannya. Dari sanalah jaringan kerja mulai terbina.
Sedangkan dengan organisasi-organisasi lain, hubungannya tidak lebih karena sebagai organisasi payung. Dengan KOWANI, BMOIWI maupun KNPI adalah karena harus ada perwakilan dari berbagai organisasi, tidak terkecuali organisasi Fatayat. Sementara jaringan dengan organisasi internasional karena kita diperkenalkan oleh organisasi penyandang dana (funding)
Hambatan yang Dihadapi
Hambatan yang dirasakan sepanjang yang diamati adalah: Pertama, Fatayat NU adalah organisasi sayap yang tidak bisa sepenuhnya mandiri. Organisasi Fatayat harus mengacu kepada hasil-hasil Muktamar NU. Kebijakan yang dikeluarkan NU hampir semuanya berimbas kepada organisasi-organisasi otonomnya, tidak terkecuali Fatayat. Kedua, ada perbenturan kapling kerja antara Fatayat dengan Muslimat NU. Misalnya, Fatayat tidak diperkenankan melakukan program kerja tertentu, karena itu sudah menjadi kapling Muslimat NU. Sedihnya, satu sama lain bukan saling mendukung, malah saling bersaing dan sayangnya pula persaingan yang ada sering tidak sehat. Ketiga, belum dilaksanakannya secara tegas aturan pembatasan usia untuk menjadi anggota dan pengurus Fatayat. Di daerah-daerah ada yang sudah berusia 60 tahun, tetapi masih aktif di Fatayat. Sebaliknya, banyak pula perempuan yang masih muda-muda, tetapi aktif di Muslimat. Mengenai keanggotaan pun belum juga jelas, karena belum tuntasnya masalah kartu anggota. Keempat, Pengurus Pusat Fatayat NU sebaiknya tidak mengerjakan program teknis yang bersifat operasional, tetapi pada filosofi program dan perumusan kebijakan. Pekerjaan teknis operasional tersebut cukup saja diserahkan kepada wilayah-wilayah, supaya pengurus pusat lebih fokus melakukan perencenaan organisasi jangka panjang dan evaluasi.
Biografi Diri
Saya lahir dan dibesarkan dari lingkungan dengan tradisi Islam yang taat dan ketat. Sebagai perempuan, sejak kecil saya diperkenalkan bahwa aurat perempuan itu bukan hanya tubuh dan rambutnya, melainkan juga suaranya. Karena itu, sejak remaja saya sudah memakai pakaian tertutup dan berkerudung. Ruang gerak saya sering diawasi oleh keluarga, baik oleh kakek maupun paman. Misalnya, saya tidak boleh kos (kontrak rumah atau kamar) saat mahasiswa karena kuatir bebas dengan laki-laki. Saya pun akhirnya dibelikan rumah yang dekat dengan paman dan setiap saat bisa diawasi. Pandangan-pandangan keislaman saya mulai “tercerahkan” ketika memasuki pendidikan jenjang S2 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution.
Berkaitan dengan aurat perempuan ini, saya mempunyai pengalaman ketika terbang dari Madinah ke Kairo dimana saat itu saya sedang menulis disertasi di Mesir. Di pesawat saya bertemu dengan sejumlah perempuan dari Madinan yang memakai cadar. Tetapi ketika penumpang tersebut turun di Kairo, pakaian cadar mereka semua dibuka dan mereka memakai pakaian mini dan ketat melebihi orang-orang Eropa. Kepada salah seorang di antara mereka saya bertanya, “Mengapa di buka?”. Mereka menjawab, “Itu kan hanya pakaian adat”. Saya hampir shok mendengarnya. Dari pengalaman inilah saya terpacu untuk membaca literatur tentang aurat perempuan. Dari sejumlah literatur yang saya baca, para ulama ternyata berbeda pendapat mengenai aurat perempuan ini, ada yang ketat, moderat, hingga yang liberal.
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., APU, lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Istri dari Ahmad Thib Raya, guru besar Pascasarjana UIN Jakarta. Pendidikan formalnya dimulai dari pesantren As’adiyah, lalu menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada IAIN Alauddin Makassar; selanjutnya S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam; dan S3 Bidang Pemikiran Politik Islam, keduanya di Pascasarjana UIN Jakarta. Selain itu, mengikuti sejumlah pendidikan nonformal, seperti kursus Singkat Democracy and Civil Society di Melbourne, Australia (1998); Kursus Singkat Pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000); Kursus Singkat Advokasi Penegakan HAM dan Demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat (2000); Kursus Singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat (2001); Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia (2001); Manajemen Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002).
Pada 1985, mulai bekerja sebagai Dosen Luar Biasa di IAIN Alauddin dan di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, disamping menjadi peneliti pada Balai Penelitian Lektur Agama, Makassar. Sejak 1990, pindah ke Jakarta menjadi peneliti pada Balitbang Departemen Agama Pusat, dan menjadi dosen di beberapa tempat, seperti Institut Ilmu-Ilmu al-Quran, dan Program Pascasarjana UIN Jakarta.
Musdah pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Departemen Agama; Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia, Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas; Anggota Tim Ahli Menteri Tenaga Kerja RI; dan Sekarang Staf Ahli Menteri Agama, Bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional.
Ia menjadi pembicara di berbagai seminar, baik di dalam dan luar negeri. Menulis sejumlah makalah dan buku. Buku yang terpublikasi secara luas diantaranya adalah Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal (Paramadina, 2001) Islam Menggugat Poligami ( Gramedia, 2004); Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam (2001) dan Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Mizan, 2005) ( Ditulis oleh: Neng Dara Affiah)
0 komentar: