Falsafah Budaya Sepasaran
Selepas jamaah sholat Maghrib, Maghrib ke 9 dari bulan Oktober, di masjid di suatu daerah, sang imam memulai ceramah singkat yang memang sudah menjadi kebiasaan di masjid itu. Akupun mengurungkan niat untuk dzikir dan khidmat mendengarkan untaian taushiah yang hendak disampaikan sang imam.
Diawal ceramah, sang imam menjelaskan bahwa nanti di akhirat akan ada golongan yang dimasukkan neraka karena kebodohannya. Kebodohan golongan tersebut adalah mengikuti pemimpin tanpa menyaring atau menimbang perbuatan pemimpin dengan timbangan syariat Islam, mereka ikut saja tiap apa yang disampaikan pemimpin. Mereka tidak peduli perbuatan tersebut dibenarkan syariat Islam atau dilarang. Di dalam neraka, golongan tersebut berdoa pada Alloh agar pemimpin yang telah menyesatkan mereka diazab dua kali lipat dari azab yang mereka terima.
Dari penjelasan tersebut, sang imam mengajak para makmum, yang saat itu ada sekitar 15-an jamaah pria, untuk tidak mengikuti perbuatan siapapun tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan syariat islam. Yang dalam arti sang imam mengajak jamaah untuk menimba ilmu tentang syariat islam, karena bagaimana mungkin kita bisa menimbang suatu perkara dengan syariat Islam jika kita belum mengetahui bagaimana syariat Islam itu? Sehingga dalam hal ini mutlak diperlukan pengetahuan yang cukup dalam arti kita harus banyak belajar dan menuntut ilmu dan jangan sampai bodoh terhadap syariat Islam. Sebuah anjuran yang sangat mulia menurut saya saat mendengarkan taushiah beliau.
Sesaat kemudian sang imam berpindah topik, yakni memulai pembahasan tentang shodaqoh. Namun bukan shodaqoh dalam bentuk yang biasa kita pahami selama ini, namun lebih berarti shodaqoh dalam bentuk adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa, yakni selametan. Pembahasan oleh sang imam lebih difokuskan pada shodaqoh/selametan kelahiran.
Sang imam menjelaskan makna shodaqoh yang biasa dilakukan masyarakat saat sepasaran bayi, yakni saat bayi umur 5 hari. Dimana pada saat itu para orang tua mengadakan selametan dengan kulub (biasanya dari daun wangon) dan mbel-mbel (dari bahan ketan). Kulub yang dalam KBBI disebut rebusan sayur, (masih menurut penjelasan sang imam) mengandung falsafah yang mendalam jika ditinjau dari syariat islam. Secara bahasa, yakni bahasa Arab kulub berarti Qulub/Qolbun atau hati. Secara wujud, kulub itu lembut tidak keras, dengan ini diharabkan sang bayi nantinya mempunyai hati yang lembut tidak keras sehingga mudah menerima kebenaran.
Yang berikutnya adalah wangon, yakni bahan sayuran yang dibuat kulub hendaknya diambilkan dari daun wangon. Secara bahasa, wangon mirip dengan kata angon dalam bahasa Jawa (kali ini tidak dikaitkan dengan bahasa Arab). Angon berarti menggembala, biasa dimaknai dengan mengatur, memelihara, merawat bisa juga mandiri dan bertanggungjawab. Sehingga diharapkan sang bayi nanti dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab. Kemudian sang imam menjelaskan, selametan dengan wangon lebih baik daripada dengan gule kambing misalnya, karena meskipun gule kambing lebih enak, namun tidak ada falsafah yang bisa digali dari gule kambing tersebut.
Pejelasan berikutnya mengenai mbel-mbel (disebut juga iwel-iwel untuk daerah Surabaya). Bahan mbel-mbel/iwel-iwel dianjurkan dari bahan ketan, sehinggga terasa lebih lengket kuat melekat. Ini mengandung falsafah yang tak kalah dalamnya, yakni diharapkan doa-doa dari orang tua sang bayi nantinya selalu melekat kuat atau senantiasa mengiringi sang bayi sampai dewasa kelak.
Dengan penjelasannya sang imam berharap para jamaah yang biasa melakukan adat sepasaran semakin mantab dalam menjalankannya dan tidak ragu-ragu lagi karena adat sepasaran tidak menyalahi syariat Islam. Kemudian sang imam mengajak jamaah untuk melestarikan budaya sepasaran tersebut, karena adat selametan sepasaran bayi tersebut mengandung faidah yang agung dan sangat bermanfaat bagi bayi. Demikian taushiah dari sang imam yang kemudian diakhiri dengan doa.
Yang agak rancu menurut saya adalah penjelasan sang imam yang pertama kali yang mengajak jamaah untuk tidak mengikuti siapapun tanpa mengetahui dasarnya dari syariat Islam. Namun saat penjelasan tentang selametan, sang imam mengajak jamaah untuk melestarikan budaya selametan sepasaran, walaupun dalam penjelasannya sang imam tidak menunjukkan dalil (dasar hukum) satupun baik dari Al Quran maupun Al Hadits tentang disyariatkannya adat sepasaran. Jikapun menyebut ayat Al Quran (tentang kata Qulub di Al Quran), ayat tersebut tidak menyebutkan tentang disyariatkannya adat sepasaran namun hanya menjelaskan tentang hati. Sehingga tampak dalilpun dipaksakan, dihubung-hubungkan dengan Al Quran dan bahasa Arab, agar adat tersebut tampak Islami. Dan yang lebih parah lagi, sang imam membandingkan wangon dengan gule kambing, dan menganjurkan untuk selametan/shodaqohan dengan wangon saja karena maknanya lebih dalam dan mengena. Padahal kita tahu, gule kambing saat kelahiran bayi itu identik dengan aqiqoh (dilaksanakan pada hari ke 7) yang mana dalil-dalil tentang aqiqoh telah shahih dan tidak ada ulama yang berselisih tentang disyariatkannya aqiqoh. Namun dengan begitu beraninya sang imam menganggap wangon lebih baik daripada gule kambing yang berarti sama halnya menganggap sepasaran lebih baik daripada aqiqoh, meskipun secara tidak langsung. Dan saya sangat yakin, beliau yang berjuluk kyai di kampung dan sering mengimami jamaah, pasti faham tentang aqiqoh.
Diawal sang imam mengajak untuk mentaati segala sesuatu yang ada landasan syariat Islam, namun di akhir penjelasan sang Imam mengajak untuk melestarikan budaya yang tidak berlandaskan syariat islam, bahkan cenderung mengabaikan salah satu syariat Islam, yakni aqiqoh.
Ya Alloh tunjukilah kami jalan yang lurus, yakni jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat pada mereka , bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang tersesat. Aamiin.
imam yang pandai tapi tak faham tentang dien...
BalasHapuswallahu a'lam
sepertinya begitu mas,
Hapushttps://www.jendelaku.com/2020/04/perencanaan.html
BalasHapus