Sejarah Periwayatan Hadits
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menjadikan ilmu hadits sebagai salah satu ilmu yang mulia di dalam islam, yang dengannya agama yang mulia ini selamat dari kepalsuan-kepalsuan yang diadakan oleh orang-orang yang tidak menyenangi tegaknya syari'at yang dibawa oleh Rasullah SAW, shalawat dan salam kepada Nabi junjungan alam, Nabi yang mulia, Muhammad SAW, sebagai manusia terbaik yang pernah lahir di alam dunia ini, semoga kita termasuk sebagai pengikutnya yang setia dalam mempertahankan kemurnian sunnahnya hingga akhir zaman kelak.
Makalah sederhana kami yang berjudul "Sejarah Periwayatan Hadits" ini merupakan salah satu kajian penting dalam bidang ilmu hadits, karena di dalamnya dibahas keadaan periwayatan hadits pada tiga zaman awal islam. Yaitu zaman Nabi SAW, zaman sahabat, dan zaman sesudah sahabat atau yang lebih populer dengan sebutan tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
Selanjutnya, Kami menyadari bahwa di dalam penulisan makalah ini masih terdapat berbagai macam kekurangan. Oleh Karena itu, kritik dan saran yang disampaikan dengan I'tikad yang baik sangat kami harapkan dari pembaca sekalian untuk penyempurnaan makalah ini selanjutnya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada bapak pembimbing kami dalam mendalami Ulumul hadits, yaitu Bapak Dr.Ali Masrur M.Ag yang telahbanyak memberikan inspirasi dan dorongan kepada kami hingga kami menyelesaikan malakalah yang sederhana ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit kontribusi dalam membangun sebuah wawasan yang luas dalam ilmu-ilmu hadits bagi pembaca sekalian
Tim Penyusun
Sejarah Periwayatan Hadits
A. Pengertian Periwayatan Hadits
Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat adalah kegiatan penyampaian dan penerimaan hadits, serta penyandaran hadits tersebut kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima periwayatan hadits dari orang lain namun tidak meriwayatkannya kepada orang lain tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.[1]
B. Cara Nabi Menyampaikan Hadits
Jika kita menelaah berbagai macam hadits nabi dengan memperhatikan cara Nabi SAW dalam menyampaikannya, maka kita akan mendapati cara sebagai berikut:
a. Pada majelis-majelis Rasulullah
Rasulullah SAW secara khusus dan teratur mengadakan majelis-majelis yang berhubungan dengan pengajaran syari'at islam. Majelis-majelis yang beliau pimpin itu bukan hanya kaum pria saja, tetapi juga ada yang khusus untuk kaum wanita. Majelis-majelis tersebut tidak hanya diadakan di mesjid, tetapi juga di rumah-rumah para sahabat. Selama pengajian tersebut, para sahabat menerima hadits Nabi SAW, kemudian mereka mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan oleh Nabi SAW dan menghafalnya. Anas bin Malik r.a berkata,"Kami berada di sisi Rasulullah SAW, mendengarkan hadits dari beliau. Apabila telah selesai, maka kami mempelajarinya kembali dan menghafalnya.[2]
b. Pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah SAW, lalu beliau menerangkan hukumnya
Terkadang ketika terjadi suatu kasus, dan Rasulullah SAW menyaksikan peristiwa itu, beliaukemudian menjelaskan hal-jhal yang berhubungan dengan peristiwa tersebut.[3]
c. Pada peristiwa yang dialami oleh kaum Muslimin, kemudian mereka menanyakan tentang hukumnya kepada Rasulullah SAW
Terkadang para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya dan juga yang berhubungan dengan orang lain. Kemudian mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW.[4]
d. Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para sahabat mengenai apa yang terjadi atau dilakukan oleh Nabi SAW.
Banyak sekali peristiwa yang terjadi atau yang berhubungan dengan diri Rasulullah SAW, yang disaksikan langsung oleh para sahabat, misalnya yang berhubungan dengan maslah-masalah inbadah, perjalanan Rasulullah, keadaannya, sifat-sifatnya, dan lain sebagainya.[5]
C. Periwayatan Hadits dari Zaman Nabi hingga Zaman sesudah Generasi Sahabat
a. Periwayatan hadits pada zaman Nabi
Hadits yang diterima oleh para sahabat sangat cepat tesebar di masyarakat.Karena para sahabat sangat bersemangat untuk memperoleh hadits Nabi dan menyebarkannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
'Umar bin Khattab r.a telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi SAW. Kata 'Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau yang berkenaan dengan Nabi, maka dia segerqa menyampaikan hal tersebut kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, sahabat yang tidak sempat hadir bersama Nabi SAW, juga tetap dapat mengetahui hal-hal yang disampaikan oleh Nabi SAW, melalui sahabat lain yang mendengarnya.[6]
b. Periwayatan hadits pada zaman sahabat Nabi
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat, khususnya masa al-khulafa al-Rasyidin. Masa ini terhitung sejak wafatnya Nabi Saw pada tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun ke-11 Hijriah,[7] hingga tahun ke-40 Hijriyah,[8] yang disebut juga dengan masa sahabat besar. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Abu Bakar r.a adalah orang yang pertama kali menunjukkan kehati-hatiannya dalam menerima khabar yang berkaitan dengan Nabi SAW.[9]
Pada masa ini, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an yang mana mendapat prioritas pertama untuk disebarkan keberbagai wilayah dan pelosok masyarakat islam. Dengan demikian, periwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan masih dibatasi periwayatannya. Oleh karena itu, masa ini dianggap oleh para ulama sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau meperketat periwayatan.[10]
Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat tidak lagi menetap di kota Madinah. Mereka menyebar menjelajahi kota-kota lain. Konsekuensinya, penduduk kota-kota lain pun mulai menerima ajaran islam, termasuk hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, periwayatan hadits mulai berkembang di kalangan Tabi'in.[11]
Sebaliknya, periwayatan hadits pada masa permulaan sahabat masih terbatas sekali. Seseorang yang menerima hadits tidak harus menyampaikan hadits itu kecuali jika diperlukan. Artinya, jika masyarakat mengahadpi suatu masalah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan membutuhkan penjelasan dari hadits, maka pada saat itu periwayatan hadits dapat dilakukan.[12]
c. Periwatan hadits pada zaman sesudah Tabi'in dan Tabi'ut-tabi'in
Sebagaimana pada masa sahabat Nabi, pada masa Tabi'in juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan periwayatan hadits. Meskipun keadaan mereka tidak seberat yang dialami oleh para sahabat, yang mana pada masa ini, Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf sehingga tidak ada lagi kekhawatiran akan bercampur dengan hadits-hadits Nabi. Selain itu, pada akhir periode Khulafaur Rasyidin, para sahabat yang mengetahui dan menghafal hadits telah benyak menyebar kebeberapa wilayah yang dikuasai Islam. Ini menimbulkan kemudahan bagi para Tabi'in untuk mempelajari hadits dari mereka.[13]
D. Bentuk dan Susunan Hadits Nabi dalam Periwayatan
a. Tatacara periwayatan hadits (Tahammul wa Al-Ada)
Dalam proses periwayatan hadits, ada delapan cara atau pun metode, yaitu:
1) Sima' (mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan maupun dari kitabnya, sementara hadirin mendengarnya, baik mejelis itu untuk imla' ataupun untuk yang lainnya. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat yang tertinggi. Ada juga yang berpendapat bahwa mendenga dari seorang guru disertai dengan menuliskannya lebih tinggi daripada mendengar saja tanpa menulisnya. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sementara murid menulisnya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada penerimaan setelah imla'. Dan mendengar dalah cara yang mula-mula ditempuh oleh seorang periwayat hadits.[14]
2) Qira'ah 'ala al-Syaikh (membaca dihadapan seorang guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-'aradh (penyodoran). Ada juga yang menyebutnya 'ardh al-qi'ra'ah (menyodorkan bacaan), karena di dalam konteks ini, seorang murid menyodorkan bacaannya kepada gurunya. Maksudnya, seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti, sedangkan guru memperhatikan atau menyimaknya baik dengan hafalannya ataupun dari naskah asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti.[15]
3) Ijazah,yaitu sertifikasi atau rekomendasi. Ini merupakan metode tahammul yang baru dan berbeda dengan kedua metode di atas. Namun masih tetap pada batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang telah diijazahkannya. Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah, kecuali untuk kalangan tertentu dari para pengikut ulama hadits yang berstatus tsiqah, dan hadits yang di ijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits atau juz atau kitab.[16]
4) Al-Munawalah, yaitu seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab hadits kepada seorang muridnya seraya berkata,"Inilah hadits-haditsku atau inilah riwayat yang kudengar," tanpa mengatakan," Riwayatkanlah dariku, atau atau ku memperbolehkanmu untuk meriwayatkannya dariku." Sebagian ulama membolehkan metode ini dan sebagian lagi tidak memperbolehkannya. Munawalah yang paling tinggi statusnya adalah Munawalah yang disertai dengan ijazah.[17]
5) Al-Mukatabah, maksudnya yaitu seorang menulis dengan tangannya sendiri atau meninta orang lain untuk menulis sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya ataupun murid yang ada di tempat yang lain lalu guru tersebut mengirimkan hadits-hadits tersebut kepada muridnya tersebut. Dalam hal ini, Mukatabah terbagi menjadi, yaiut yang disertai dengan ijazah, dan yang tidak disertai dengan ijazah.[18]
6) I'lam al-Syaikh, maksudnya yaitu seorang syaikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnay dari seseorang. Tanpa menyatakan pemberian ijazah secara jelas untuk meriwayatkan darinya. Sebagian ulama berpendapat bahwa metode semacam itu harus disertai dengan ijazah agar periwayatan darinya bisa berstatus shahih.[19]
7) Al-Washiyyah, maksudnya yaitu seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk diriwayatkan darinya. Bentuk merupakan bentuk tahammul yang amat langka.[20]
8) Al-Wijadah, yaitu ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa adanya proses mendengar,mendapatkan ijazah, ataupun proses munawalah. Misalnya, ada seseorang yang menemukan hasil tulisan orang yang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisan tersebut, baik ia pernah bertemu ataupun tidak, baik orang itu semasa ataupun tidak, akan tetapi ada bukti mengenai kebenaran penisbatan-penisbatan yang ada dalam kitab tersebut, serta kitab tersebut merupakan kitab yang populer.[21]
Pada masa klasik, periwayatn dengan metode ini amat langka, karena yang diutamakan pada masa klasik adalah sima', bahkan ada menilai bahwa periwayatan yang hanya melaui kitab merupakan periwayatn yang dhai'f.[22]
b. Susunan hadits Nabi dalam periwayatan
Dalam menyampaikan hadits Nabi, para sahabat menggunakan dua macam cara, yaitu:
1) Dengan lafaz asli, atau secara lafziah. Yaitu, menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi secara langsung. Para sahabat dapat melaksanakan cara ini, karena selain kekuatan hafalan dan ingatannya, juga setelah menerima hadits dari Nabi SAW, mereka dapat mempelajari dan mengulanginya dengan penuh ketaatan dan konsentrasi. Semua sahabatmenginginkan periwatannya dengan lafaz, bukan dengan maknanya. Periwayatan hadits secara lafziah ini, tentu saja untuk hadits jyang berbentuk qauliyah (perkataan) Nabi saja. Sedangkan untuk hadits yang bersifat fi'liyah (perbuatan) dan taqririyah (keterapan) tidak dapat disampaikan dengan cara ini.[23]
2) Dengan makna saja (ma'nawiyah). Yaitu, hadits tersebut disampaikan oleh sahabat dengan mengemukakan maknanya saja, tidak menurut lafaz-lafaz yang seperti yang diucapkan oleh Rasul. Jadi, redaksinya disusun oleh para sahabat, sedangkan isinya berasal dari Nabi SAW. Oleh karena itu, sangat banyakhadits Nabi SAW yang mempunyai maksud yang sama, namun matannya berbeda.[24]Ikhtisar
- Periode perkembangan periwayatan hadits ditinjau dari segi sejarah terbagi pada tiga masa, yaitu masa Nabi, masa sahabat, dan masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in .
- Pada zaman Nabi SAW, periwayatan hadits berlangsung secara lisan serta belum mendapat prioritas karena masih turunnya ayat-ayat suci Al-Qur'an.
- Pada zaman sahabat, periwayatan hadits hanya dilakukan jika ada suatu masalah yang memerlukan hadits dalam penjelasannya, karena adanya syarat yang sangat ketat dalam meriwayatkan hadits.
- Pada zaman tabi'in dan tabi'ut tabi'in, periwayatan hadits mulai mendapat perhatian yang serius, karena mulai bermunculannya para pemalsu hadits.
- Nabi SAW menyampaikan hadits pada berbagai peristiwa, tempat dan waktu. Di antaranya, yaitu: majelis rutin di mesjid, majelis di rumah-rumah sahabat, peristiwa yang dialami oleh Nabi bersama sahabat, peristiwa yang hanya dialami oleh sahabat, menjawab pertanyaan sahabat, dan peristiw-peistiwa lainnya.
- Periwayatan hadits dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu: sima' (mendengar langsung dari seorang guru), Qira'ah 'al syaikh (membaca di hadapan guru), Ijazah (rekomendasi dari guru), Munawalah, I'lam Syaikh, Mukatabah,Washiyah dan Wijadah.
- Dalam periwayatan hadits, terdapat dua macam susunan hadits, yaitu secara lafziyah dan secara maknawiyah.Daftar Pustaka
An-Nadwi, 'Ali al-Hasan. Sirah Nabawiyah.Yogyakarta: Mardhiyah Press,2008.Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaidah Keshahihan Sanad Hadits.Jakarta: Bulan-Bintang , 2005.
Pettalongi, H.M Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits.Jakarta: Gaung Persada Press,2008.Adz-Dzahabi. Tazkiratul Huffazh. Maktabah Syamilah. t.th
[8] Yaitu tahun wafatnya Ali bin Abi Thalib r.a. Lihat Kitab Tadzkiratul Huffaz karya Imam Adz-Dzahabi, bab Tabaqatul Ula min al-kitab.
[11] Ibid
[12] Ibid
[15] Ibid.hlm.138-139
[17] Ibid.hlm.141
[18] Ibid.hlm.141-142
[19] Ibid.hlm.142
[24] Ibid
Rijalul-Hadits@Aswin Ahdir Bolano
0 komentar: