Cinta Sang Duta Pertama

Ia, bagaikan mawar di rerimbunan suku Quraisy. Wajahnya tampan, begitu masyhur di udara Makkah. Cemerlang pemikirannya bukan lagi rahasia, ia sosok cerdas yang menjadi kebanggaan. Tak sampai di situ, ia anak dari seorang bangsawan dengan gemerlap kekayaan. Sejarah menorehkan anugerah panggilan terhadapnya "Penduduk Makkah yang sangat mempesona". Ia tumbuh menjadi anak kesayangan sang ibunda, anak manja begitu para karibnya menyebut sang pemuda. Namun, apakah mungkin jika selanjutnya kisah kehidupan sang pemuda menjadi sebuah legenda keimanan yang begitu agung gaungnya? Allah sebaik-baik penentu lika-liku kehidupan seseorang. Mush'ab bin Umair.

***

Bukit Shafa, Makkah, senja hari

Mush'ab gelisah menyusuri setapak jalanan. Sesekali ia menengok kiri dan kanan, memastikan tak ada orang yang mengikutinya. Sampai di rumah Arqam bin Arqam, ia berhenti. Sudah dibulatkan tekadnya untuk menjumpai seseorang yang kelak akan dicinta sampai nafas terhembus dari raga. Perlahan Mush'ab membuka pintu, dan di sana telah duduk sosok yang selama ini hanya mampu ia dengar. Ruangan begitu hening, sementara gemerisik pepasir sahara terdengar mengalun dihantarkan angin. Sesaat kemudian Mush'ab terpaku, lantunan syair syahdu yang begitu indah menyapa merdu gendang telinganya. Mush'ab terbuai, hatinya melembut. Sejenak, Mush'ab serasa mengangkasa, terpesona. "Apakah itu, duhai Muhammad?" tanya Mush'ab setelah bibir manis Rasulullah tak lagi bersuara. "Tadi, adalah Al-Qur'an, firman Allah yang maha benar." "Ya Muhammad, bagaimana caranya aku bisa masuk ke dalam agama yang tengah engkau bawa?"

Saat itu betapa berbunga hati manusia pembawa cahaya pada dunia. Pertanyaan yang dilontarkan Mush'ab begitu menggembirakan Al-Musthafa. Akan bertambah pengikutnya satu kepala. Senyuman sang Penerang mengembang, dengan mantap ia bertutur, "Bersaksilah bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah benar utusanNya."

Dan beberapa pasang mata menyaksikan sumpah setia sang pemuda berparas jelita. Mush'ab bersyahadat. Mush'ab nampak berbeda, sebuah keharuan menjelma. Dadanya turun naik, Nabi bersegera menujunya. Tangan Al-Musthafa terulur ke dada Mush'ab, meredam gejolak cinta yang kian berdentang. Dan ajaib lubuk hatinya kini damai. Keduanya kini berpandangan disaksikan langit yang juga bersuka cita. Mush'ab bin Umair, pemuda gagah keturunan seorang bangsawan Quraisy kini sempurna menjadi seorang muslim.

Sejarah mengisahkan betapa Al-Amin mempercayakan kepadanya sebuah emban. Mush'ab dipilih menjadi seorang utusan. Seorang duta pertama dalam Islam. Ada amanah indah yang harus segera ia tunaikan. Tugasnya mengajarkan tentang Islam kepada kaum Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di Aqabah. Sebuah misi yang tentu saja tidak mudah. Saat itu telah 12 orang kaum Anshar yang beriman.

Mush'ab juga mengemban misi yang lain yaitu mengajak kabilah lain untuk masuk Islam dan mempersiapkan penyambutan hijrah Rasulullah. Ia sungguh tahu betapa berat amanah itu ditanggung. Namun, titah ini terucap dari bibir manis manusia yang ia cinta, yang dipercayainya dan telah melimpahi hatinya cahaya terang benderang. Berbekal cinta, ia menjadi seorang duta kekasihnya, ke Yastrib.

***


Mush'ab memang pemuda kebanggaan, ia berhasil merengkuh hati para penduduk Madinah. Sifat yang ditampakkannya, kejujuran, kezuhudan dan ketulusan telah mengikat banyak perhatian. Ia begitu memahami tugasnya dengan baik. Ia datangi kabilah-kabilah yang bertebaran di Madinah. Setiap rumah, tempat pertemuan, penduduk laki-laki, perempuan, tak luput dari seru syahdu sang Pemuda. Namun tentu bukan tidak ada rintang.

Tak lama berselang, Allah yang Maha Akbar memperlihatkan hasil sebuah usaha sungguh-sungguh Mush'ab bin Umair. Berduyun-duyun manusia berikrar mengesakan Allah dan mengakui Rasulullah sebagai utusan Allah. Jika saat ia pergi ada 12 orang golongan kaum Anshar yang beriman, maka pada musim haji selanjutnya umat muslim Madinah mengirim perwakilan sebanyak 70 orang laki-laki dan 2 orang perempuan ke Makkah untuk menjumpai Nabi yang Ummi. Madinah semarak dengan cahaya.

Duta pertama pilihan Al-Musthafa sukses tanpa tandingan. Sungguh sebuah keberhasilan yang gemilang.

Di Madinah, sebuah persembahan cinta disematkan untuk Mush'ab bin Umair, karena jasa tak terbilangnya sebagai duta. Dari bibir para penduduk Madinah, setiap guru agama akan disapa sebagai "Al-Mush'ab" bukan lagi al-Ustadz.

***

Kemilau kehidupan Mush'ab berakhir di sebuah bukit. Akhir kehidupannya menjelma semerbak kisah yang menjadi pelengkap sejarah kebanggaan kaum Muslimin. Siapkan hatimu, dan petik banyak hikmah, agar engkau meneladani ekspresi kecintaannya kepada Nabi. Inilah kisah kepergiannya:

Bukit Uhud dalam kecamuk perang.

Mush'ab tampil pemberani di sana. Ketika pasukan muslim lengah dan tercerai berai, dan Rasulullah menjadi sasaran setiap kepala pasukan Quraisy, Mush'ab menjelma sebenar-benar pencinta. Ia mengangkat panji itu setinggi-tingginya dan menggemakan takbir ke jauh angkasa. Tujuannya satu, para kafir itu beralih kepada dirinya. Ia memberi isyarat kepada Rasulullah untuk segera pergi. Mush'ab mengerahkan utuh tenaganya. Melompat, berlari, berputar dan menghujamkan sebilah pedang. Seperkasa apapun Mush'ab, ia tetaplah sendirian. Ujung mata tombak itu menembus dadanya. Mush'ab jatuh direngkuh pepasir Uhud.

Jasad pemberani Mush'ab terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah, seolah-olah wajahnya tak berani melihat bencana yang kan menimpa sosok yang teramat dicintanya atau mungkin karena ia malu mati terlebih dahulu sebelum memastikan keselamatan raga nabinya. Allah yang maha Mengetahui.

Sungguh saat itu Al-Musthafa berdiri tegak di samping tubuh yang telah sunyi. Wajah rembulan Rasulullah berkabut. Ke dua kelopak matanya terselubungi bening cinta untuk sang duta pertama. Ada luruh air mata dan untaian senandung ketulusan untuk Mush'ab yang kini pergi. Sejenak, Rasul Allah terdiam, namun tak seberapa lama, dari bibir semanis madu itu terungkap sekuntum firman Allah,

"Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur..." (QS 33: 23).

Uhud senyap, banyak jasad yang tak lagi sempurna. Di sana Mush'ab bin Umair menyambut syahidnya. Wajah yang mempesona sebelumnya itu kini berdarah-darah. Tubuh tegap yang dulu selalu berpakaian indah dan jelita, sekarang hanya berbalut kain lusuh yang tak lagi utuh. Ada banyak luka di sana, hunjaman tombak, sayatan pedang, tusukan anak panah. Ke dua tangan pemegang panji kebanggaan Islam tak lagi ada, tangannya begitu sempurna dibabat pongah pedang para kafir Quraisy. Dan rambut Mush'ab, rambut kebanggaan yang dahulu selalu wangi misk dan hitam berkilat itu kini hanya terlihat masai. Rasulullah mengenang pemuda tampan kebanggaannya. Pemuda cerdas duta pertamanya.

Di ujung hening, kesedihan kaum Muslim begitu memulun. Pepasir bukit Uhud, merengkuh begitu banyak para syuhada. Al-Musthafa termenung, ia berjalan perlahan melewati para pemberani yang kini telah disambut para bidadari. Detik itu terpetik sebuah sabda indah untuk mereka yang telah melangkah di jalan Allah, sebuah jaminan pasti untuk mereka,

"Rasulullah akan menjadi saksi dihari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah."

Dan selanjutnya kekasih Allah memanggil semua sahabat yang masih hidup untuk sejenak berkumpul. Banyak kepala tertunduk menatap pepasir uhud yang kini berujud merah. Pandangan mereka mengabur karena tersaput selaput basah yang begitu mudah hadir. Sesak dada mereka atas banyak kepergian. Sementara dengan agung, Sang Tercinta melantunkan sebuah alunan permintaan,

"Hai manusia, ziarahilah mereka, datangilah mereka dan ucapkanlah salam. Demi Allah, tidak seorang muslim pun sampai hari kiamat yang memberi salam kepada mereka kecuali mereka membalasnya."

Aduhai Mush'ab bin Umair, salam cinta kami untuk engkau. Keberkahan untukmu Mush'ab yang baik. Kedamaian juga untuk engkau, wahai pencinta Al-Musthafa. Sejahtera atas engkau, wahai Sang Duta pertama. Kami sampaikan salam, semoga engkau mulia di sisi Nya. Aamiin.


***

Sumber : Oase Iman

0 komentar:

Dan Barker

Dan Barker merupakan mantan pendeta evangelis yang kini menjadi seorang atheis dan menantang konsep Islam dan eksistensi Allah.
LONDON (Berita SuaraMedia) - Pada Senin, 30 November mantan pendeta evangelis dan kini menjadi atheis terkemuka AS, Dan Barker, akan menantang konsep Islam dan Allah serta mengartikulasikan alasan-alasannya untuk atheisme. Adam Deen, pembicara internasional apologetik Muslim akan membela pihak umat Islam.

"Anda terus menuduh saya murtad setiap saat, tapi saya tidak dapat dihukum karena suatu kejahatan yang tidak memakan korban", Dan Barker berkata.

Dan Barker adalah Direktur PR Yayasan Kebebasan Agama dari 31987-2004. Telah menulis banyak buku, dan yang terbaru adalah "Godless", diteruskan oleh Richard Dawkins.

Barker menerima gelar dalam Agama dari Azusa Pacific University dan ditahbiskan ke dalam pelayanan oleh Standar Community Church, California, pada tahun 1975. Ia menjabat sebagai associate pastor di sebuah Gereja Friend's (Quaker), sebuah Majelis Ketuhanan, dan Gereja Karismatik yang independen. Sampai hari ini, ia menerima royalti dari lagu musikal Kristen anak-anak populer, " Mary Had a Little Lamb " (1977), dan " His Fleece Was White As Snow " (1978), keduanya diterbitkan oleh Manna Musik dan ditampilkan di banyak negara. Pada tahun 1984 ia mengumumkan kepada teman-temannya bahwa ia adalah seorang atheis.

Sebagai musisi yang sukses, Barker telah menyusun lebih dari 200 lagu yang telah diterbitkan atau direkam. Ia adalah wakil-presiden Freedom From Religion Foundation saat ini bersama istrinya Annie Laurie Gaylor, sebuah organisasi yang Freethought Amerika mempromosikan pemisahan gereja dan  negara.

Organisasi ini menangani kemunduran dalam pencariannya untuk menghentikan pendanaan federal pada inisiatif berbasis iman dalam keputusan Mahkamah Agung Hein versus Freedom From Religion Foundation pada tanggal 25 Juni 2007. Barker menjadi pembawa acara dalam Freethought Radio, sebuah program radio untuk penganut agnostik, atheis, dan pemikir bebas lainnya di Madison, Wisconsin yang telah mengadakan wawancara dengan Richard Dawkins, Sam Harris, Steven Pinker, Julia Sweeney, dan Michael Newdow. Yayasannya menerbitkan bukunya Losing Faith in Faith: From Preacher to Atheist dan dia telah menulis sejumlah artikel untuk Freethought Today, koran freethought AS.

Ia adalah anggota suku asli Lenni Lenape (Delaware India) AS, dan pada tahun 1991 mengedit dan menerbitkan Paradise Remembered, sebuah koleksi cerita kakeknya sebagai seorang anak laki-laki Lenape di daerah Indian. Ayah Dan, Norman Barker, juga seorang musisi yang memainkan trombone. Dia melakukan duet dengan Judy Garland dalam film musikal tahun 1948 Easter Parade.
Barker menjadi anggota sejumlah Masyarakat IQ tinggi, termasuk Prometheus Society, yang memiliki persyaratan masuk di persentil IQ diatas 99.997.

Barker telah muncul di Phil Donahue, Oprah Winfrey, Hannity & Colmes, Maury Povich, Good Morning America, Sally Jessy Raphael, dan program televisi Tom Leykis.

Barker juga tampil di puluhan program radio nasional dan forum untuk mendiskusikan dan memperdebatkan isu-isu yang berkaitan dengan atheisme dan pemisahan gereja dan negara. Ia dimuat oleh Kantor Berita New York Times tentang atheis, dan mempunyai alamat yang diberikan pada isu-isu keagamaan di beberapa kejadian di seluruh Amerika Serikat, termasuk satu di Harvard University.

Pada 6 Oktober 2007, Freethought Radio, yang siaran mingguan FFRF yang berasal di Madison, Wisconsin pada Mic 92,1 FM disiarkan secara nasional oleh Air Amerika. Ini adalah pertama kalinya siaran radio atheis nasional, Freethought Radio, disiarkan di Air Amerika.

Sementara itu, sebagai lawannya, Adam Deen menyatakan bahwa "Atheisme adalah seperti binatang yang terluka berusaha keras untuk bertahan hidup".

Adam Deen (Inggris) adalah pembicara publik internasional Muslim apologetik. Seorang mantan presenter Saluran Islam dan aktivis intelektual yang telah bekerja di bidang apologetik Muslim selama hampir satu dekade. Dia telah berkontribusi terhadap perdebatan mengenai masalah-masalah mulai dari etika, filsafat agama dan teologi dan menjalankan sebuah blog populer. 

0 komentar:

Ali Sina

Ali Sina merupakan nama samaran bagi seorang kritikus agama Islam. Ia ini berasal dari Iran, suatu negara yang menganut Sistem Syariat Islam secara parsial. Ali Sina berpendapat bahwa hukum berdasarkan Syariat Islam yang dilakukan di Iran sudah tidak layak lagi untuk masa sekarang dan di masa yang akan datang. Atas sikapnya ini, Ali Sina sering disebut sebagai penganut sekularisme .[rujukan?]

Ali Sina pergi ke Amerika dan memutuskan untuk menjadi tidak beragama.[rujukan?] Di sana ia dan timnya mengelola yayasan yang bernama Faith Freedom International (disingkat FFI). FFI mengklaim secara sepihak telah mengungkapkan fakta yang sebenarnya tentang Islam berdasarkan bukti-bukti ilmiah Islam. Walaupun organisasi ini ditujukan untuk mengkritisi semua agama, bahasan yang sering muncul adalah mengenai Islam.

Websitenya bernama faithfreedom.org sering diblok di banyak negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Penggunaan nama samaran dimaksudkan untuk menjaga keselamatan dirinya[rujukan?] dari fatwa hukuman mati yang sering dijatuhkan oleh pemuka Islam, akibat dari pemikirannya mengenai Islam yang kontroversial.

_____________________
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_sina
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

0 komentar:

Siti Musdah Mulia

Musdah Mulia (nama lengkap Siti Musdah Mulia; lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958; umur 53 tahun) adalah seorang aktivis perempuan, peneliti, konselor, dan penulis di bidang keagamaan (Islam) di Indonesia.
Musdah Mulia merupakan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian COnference on Religion and Peace), pernah menjabat sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama [1].

[sunting] Pendidikan

____________________
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Musdah_Mulia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Profil Yang ditulis sendiri:

“Perempuan Pembaru Keagamaan dari Fatayat NU”
  ………. Fatayat NU harus mempunyai visi Islam yang progresif. Jika tidak, ia akan sulit menangani berbagai problem sosial kontemporer, khususnya menyangkut masalah-masalah perempuan, seperti kekerasan domestik, buruh migran perempuan, perdagangan anak-anak dan perempuan, keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan masalah-masalah lainnya. Apa gunanya agama jika tidak mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer yang kita hadapi. Nabi Muhammad sendiri memfungsikan agama sebagai pembebas………

Persentuhan Awal dengan Fatayat
Saya mengenal Fatayat NU sejak tahun 1970an ketika aktif di IPPNU dan PMII wilayah Sulawesi Selatan. Pada sekitar tahun-tahun tersebut, aktivitas Fatayat NU di Makassar mengalami kevakuman. Kendati demikian, pengurusnya masih tetap ada yang pada saat itu ketua umumnya adalah Umi Aisyah, pemilik Panti Asuhan di Makassar. Pada tahun 1980, saya diminta untuk menjadi pengurus Fatayat Wilayah Sulawesi Selatan dan pada waktu yang bersamaan ada surat dari Jakarta yang mengabarkan bahwa akan mengaktifkan kembali Fatayat Makassar dengan menyelenggarakan kegiatan workshop UU Perkawinan.
Dua tahun berikutnya, yakni tahun 1982,  saya menjadi Ketua Umum Fatayat Wilayah Sulawesi Selatan hingga tahun 2000 (selama dua periode). Pada tahun 1989, saya mengikuti Kongres Fatayat di Jakarta dan diajak masuk dalam kepengurusan PP yang baru  sebagai wakil sekjen. Selanjutnya, pada 1990,  saya ke Jakarta meneruskan kuliah Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah. Pada tahun yang sama, saya diminta oleh sahabat Mahfudhoh Ali Ubaid untuk menjadi sekretaris umum karena sekretaris umum terpilih, yakni sahabat Chisbiyah Rochim lebih memilih untuk aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan ada aturan tidak boleh merangkap jabatan, saya yang semula menjadi sekretaris I bergeser posisinya menjadi Sekretaris Umum.
Saya efektif menjadi pengurus PP Fatayat selama dua periode (1990-2000). Periode pertama sebagai Sekum, periode selanjutnya sebagai wakil ketua. Sebagai orang yang bukan dari Jawa, saya sendiri tidak merasa dikucilkan di lingkungan ini. Hanya saja terasa “lain” ketika saya ke daerah sekitar Jawa Pada Kongres XI PP Fatayat, utusan-utusan wilayah non Jawa, seperti Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi,  berkoalisi mencalonkan saya menjadi Ketua Umum. Ganjalan pun menghadang, yakni satu cabang, satu suara. Karena yang banyak cabang Fatayat adalah Jawa, misalnya Jawa Barat 40-an, Jawa Timur 45 cabang, Jawa Tengah sekitar 40-an, sementara Sulawesi hanya 20 cabang, Kalimantan Selatan hanya 13 cabang. Jika suara-suara dari Jawa ini  digabung dengan  daerah-daerah non Jawa, maka tidak akan menyaingi jumlah suara yang berasal dari Jawa. Karena pemilih dari Jawa ini jauh lebih banyak suaranya dibanding daerah-daerah lainnya, maka saat itu saya tidak bisa menggungguli calon dari Jawa. Dari dulu NU selalu mengandalkan basis massa dari Jawa, terutama dari Jawa Timur.

Wacana Gender dan Pendidikan Politik Perempuan
Pada periode kedua ketika Sri Mulyati Asrory tidak aktif sebagai ketua umum Fatayat, karena ia harus meneruskan sekolahnya ke Kanada, kepemimpinan Fatayat dipegang secara kolektif oleh ketua-ketua. Gagasan kepemimpinan kolektif ini sesungguhnya tidak ada dalam AD/ART. Ini benar-benar inisiatif pengurus. Saat itu kita mulai dengan merumuskan rencana program kerja yang bekerja  sama dengan beberapa penyandang dana asing dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Pada masa ini pun kita mulai dengan program “Training Analisis Gender” kerja sama dengan Ford Foundation.
Dalam pelaksanaan training ini, kita mengundang para ulama untuk workshop. Pada saat itu awalnya para kyai marah-marah karena dianggap mengadopsi pikiran-pikiran Barat. Kita mengadu pada Gus Dur tentang masalah ini. Gus Dur menanggapinya dengan mengatakan, “Kalian keliru, jangan menggunakan istilah gender, gunakan istilah lain yang tidak menimbulkan penolakan para kyai”. Pada saat itu akhirnya kita menggunakan istilah “Latihan Pemberdayaan Perempuan” dan “Hak-hak Reproduksi Perempuan”.
Saya menyadari bahwa untuk mensosialisasikan ide kesetaraan laki-laki dan perempuan di lingkungan NU ini tidaklah mudah. Jangankan di tingkat ranting, cabang dan wilayah, pada tingkat pengurus pusat sendiri tidak sekaligus. Harus berulang-ulang. Pemahaman bahwa perempuan yang utama adalah di rumah, masih sangat kuat. Kita mempunyai pengalaman pahit ketika kita ditolak oleh Pengurus NU Jawa Tengah saat akan menyelenggarakan pelatihan gender. Tetapi saat itu kita tidak kehilangan akal. Kita mengatur kembali strategi bagaimana supaya mereka bisa menerima. Akhirnya kita menggunakan istilah-istilah yang cukup akrab dengan kultur NU.  Pada akhirnya mereka pun menerima.
Ketika kita mensosialisasikan gagasan kesetaraan gender di Fatayat, sesungguhnya kita sedang membangun usaha demokratisasi dalam unit terkecil masyarakat, yakni keluarga. Kita membentuk kesadaran kalangan perempuan bahwa kita harus bisa menentukan pilihan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Kita bebas menyuarakan pendapat dan jangan sekali-kali mau dibodohi. Kita tidak memilih cara-cara demonstrasi di jalanan, tetapi lebih memilih cara-cara yang persuasif. 
            Dari berbagai pelatihan gender yang telah dilakukan, anggota Fatayat di berbagai wilayah, cabang, bahkan ranting tidak asing ketika kata “gender” disebut. Di samping di lingkungan NU sendiri lumrah ketika perempuan aktif dalam domain publik, terutama di dunia politik. Pelatihan gender ini semakin memperkuat kesadaran perempuan akan hak-haknya sebagai perempuan, meskipun terkadang mereka tidak bisa menghindar dari “peran ganda”.    
Pada kurun waktu ini pun kita menggulirkan kesadaran hak-hak politik perempuan. Saat itu kita menyadari bahwa NU ini merupakan massa politik yang besar, diperebutkan oleh banyak partai, tetapi masih banyak perempuan NU, terutama pada tingkat akar rumput yang masih buta politik. Pada suatu acara seminar, saya pernah menyatakan bahwa istri boleh berbeda mencoblos partai dengan suaminya. Mendengar pernyataan ini, sebagian perempuan peserta seminar terkejut. Dulu tidak pernah terpikir bahwa dalam satu rumah bisa berbeda partai. Dianggapnya memilih partai sama dengan memilih agama. Dalam program “Pendidikan Politik Perempuan untuk Masyarakat Akar Rumput” ini, kita menggunakan media karikatur yang menyatakan pesan-pesan bahwa suami dan istri boleh berbeda dalam memilih partai politiknya.
Sesungguhnya pada berbagai pelatihan tersebut, ada tiga isu yang kita perkenalkan: Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan dan keadilan gender, dan demokrasi. Kita tidak bisa memisahkan ketiga isu tersebut jika bicara tentang hak-hak perempuan. Kendati pada akhirnya yang menonjol adalah isu kesetaraan gender.
Dalam lingkungan NU sendiri terdapat Maklumat akan pengakuan tentang kesetaraan gender yang dikeluarkan pada Munas NU di Lombok pada tahun 1997. Munas tersebut melahirkan suatu keputusan atau maklumat tentang “Kedudukan Perempuan Dalam Islam” (Makanah al-Mar’ah fil Islam). Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam maklumat tersebut dapat disimpulkan dalam 5 (lima) poin berikut:
1)   Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh dan karenanya patut dihormati; 
2)   Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa;
3)   Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena perbedaan kodrati;
4)   Islam mengakui peran publik perempuan di samping peran domestiknya; dan
5)   Ajaran Islam yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki itu dalam realitasnya telah mengalami distorsi akibat pengaruh kondisi sosial dan budaya.

Walaupun maklumat ini sangat fundamental dalam mendukung gerakan perempuan di lingkungan NU, namun tetap diakui masih terasa bias nilai-nilai patriarki di dalamnya, seperti terbaca dalam pernyataan bahwa: “peran domestik perempuan yang hal itu merupakan kesejatian kodrat wanita, seperti sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka”.  Artinya, dalam maklumat itu pemahaman tentang kodrat perempuan masih bias gender. Namun, setidaknya, maklumat itu telah menegaskan pengakuan akan kebolehan kaum perempuan berkiprah di dunia publik yang selama ini dianggap sebagai monopoli kaum laki-laki.
 Namun, yang dianggap sangat mendasar adalah bahwa di akhir maklumat terbaca komitmen NU yang kuat untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. NU juga menyatakan komitmennya untuk ikut memprakarsai transformasi kultur kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional dalam era globalisasi dengan memberdayakan perempuan Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Bagi kalangan perempuan, khususnya bagi organisasi perempuan di lingkungan NU,  maklumat ini merupakan dokumen historis yang amat strategis yang dapat dijadikan dasar legitimasi dan advokasi bagi upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang sebelumnya masih sangat kontroversial di lingkungan NU. Maklumat itu amat menggembirakan. Betapa tidak, NU yang didirikan pada 1926 itu memerlukan kurun waktu selama kurang lebih 71 tahun (1997) untuk dapat melahirkan suatu maklumat yang mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. Keputusan Munas tentang kedudukan perempuan ini muncul dalam konteks pembahasan masalah-masalah agama tematis (Masail Diniyyah Maudlu’iyyah). Pembahasan itu mencakup empat tema pokok: 1) Nashbul Imam (Kepemimpinan dan Demokrasi;  2) Hak Asasi Manusia dalam Islam; 3)Kedudukan Wanita dalam Islam; dan 4) Soal Reksadana.
Menarik dicatat bahwa Munas kali ini secara intens membahas masalah demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), dua isu yang sedang menjadi tema pokok dalam setiap diskursus ilmiah, baik dalam forum nasional maupun internasional. Kedua isu itu amat terkait dengan pembicaraan soal kesetaraan gender yang menjadi isu global saat ini. Untuk menyatakan dirinya sebagai organisasi pendukung nilai-nilai demokrasi dan HAM, mau tidak mau NU harus juga menerima ide kesetaraan gender yang tentu saja dalam implementasinya pada program organisasi disesuaikan dengan tradisi dan nilai-nilai keislaman yang dianut NU.
Maklumat itu sangat strategis dan sangat signifikan, terutama dalam memberi justifikasi upaya-upaya pemberdayaan perempuan di lingkungan NU. Sehingga organisasi-organisasi perempuan yang menjadi Badan Otonom NU, seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU merasa lebih mantap dalam mengelola dan mengembangkan program-program yang berkaitan dengan pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan perempuan.
Sayangnya, setelah Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang melahirkan maklumat itu, tidak tampak respons yang serius di jajaran Pengurus Besar NU untuk menindaklanjuti atau mengelaborasi keputusan tersebut dalam bentuk program kerja. Sebab, sebuah kesadaran baru tentu tidaklah berhenti sebagai maklumat belaka. Tentu dirasa perlu ada langkah-langkah konkret dari NU sendiri untuk menjabarkan isi maklumat tersebut sehingga komitmen NU itu tidak terhenti hanya pada tataran wacana. Dan seringkali ide-ide besar NU hanya terhenti pada tingkat wacana sebelum masuk ke tingkat aksi.
Pasca Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Lombok tahun 1997, terdengar suara-suara yang menyerukan perlunya wakil perempuan dalam kepengurusan PBNU mendatang. Yang menarik, harapan itu bukan hanya datang dari kalangan intern organisasi perempuan NU, melainkan juga dari kaum laki-lakinya, khususnya dari lingkungan generasi muda NU. Tokoh NU yang dikenal banyak merespons harapan tersebut, di antaranya adalah KH Said Agil Siradj, salah seorang wakil ketua PBNU. Dalam beberapa kesempatan, misalnya pada acara pembukaan “Latihan Pemberdayaan Hak-Hak Perempuan”  yang diselenggarakan Fatayat NU pada 21 April 1998, beliau menjanjikan akan mengupayakan masuknya perempuan dalam struktur kepengurusan PBNU mendatang.
Tuntutan mengenai perlunya keterwakilan perempuan dalam PBNU selanjutnya dinyatakan secara resmi oleh organisasi Muslimat NU. Dalam  seminar yang bertemakan “Membuka Cakrawala Baru Perempuan di NU” yang diselenggarakan PP Muslimat NU  pada 10 November 1999 di Jakarta, beberapa hari menjelang pelaksanaan Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Seminar tersebut antara lain merekomendasikan perlunya langkah-langkah konkret NU untuk merealisasikan isi maklumat NU 1997 tersebut dalam bentuk merekrut kalangan perempuan NU untuk didudukkan pada struktur kepengurusan PBNU yang akan datang, baik pada tingkat Syuriyah maupun pada tingkat Tanfiziyah.
            Kita sesungguhnya mengusahakan bagaimana perempuan bisa masuk dalam jajaran pengurus PBNU. Hal ini karena jika ada kebijakan atau pembahasan tentang perempuan dalam NU, kita bisa bersuara. Hanya saja sampai sekarang usulan itu belum bisa diterima. Barangkali para kyai berfikir ingin melindungi (protection), tetapi yang terjadi adalah marjinalisasi. Bahkan dalam bahsul masail pun perempuan tidak pernah diikutsertakan sebagai subyek, paling banter sebagai ”penonton”.

Seputar Counter Legal Draf  atas Kompilasi Hukum Islam
Nilai-nilai Ahlussunah wal Jamaah (ASWAJA)  yang selama ini menjadi landasan Jam’iyyah NU, sejauh yang saya cermati dan pelajari sesungguhnya sangat liberal. Pemahaman ini muncul karena saya banyak membaca literatur Islam. Gagasan-gagasan “liberal Islam” yang saya gulirkan sesungguhnya bukan ijtihad baru dan tidak mengubah ajaran dasar Islam sedikit pun. Kita hanya mengumpulkan ijtihad yang sudah dilakukan dan mengedepankan ijtihad yang progresif yang selama ini tidak pernah dikedepankan. Dengan kata lain, saya hanya menggali penafsiran Islam yang sudah lama  tidak mempunyai kesempatan untuk ditampilkan.
Hal ini pula yang melandasi mengapa saya dengan teman-teman merancang Counter Legal Draf atas Kompilasi Hukum Islam. Draf ini memang tidak ada kaitannya dengan Fatayat NU, karena program ini dirancang oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI dimana saya sebagai ketuanya. Tetapi bahwa gagasan ini  muncul tidak lepas dari fakta kuatnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, maraknya perkawinan yang tidak dicatatkan, poligami, prostitusi, kawin kontrak, perkawinan dibawah umur, dan lain-lain. Soal kawin kontrak, misalnya, kita menghadapi persoalan banyaknya perempuan yang dikawini oleh laki-laki berkewarganegaraan asing (WNA), terutama dari Arab Saudi dengan istilah “satu paket” hanya dengan membayar maskawin Rp. 200. 000. Tidak jarang yang mengawinkan pun para kyai. Laki-laki Arab itu dulunya datang ke tempat-tempat hiburan malam di Bangkok, Hongkong dan negara-negara lain. Kini mereka beralih ke Indonesia setelah peristiwa pengeboman World Trade Centre (WTC) di Amerika Serikat pada 11 Sepetember 2001. Mengapa pilihannya Indonesia?, karena di sini aman dan lagi pula murah sekali istilah mereka rakhis jiddan. Yang memprihatinkan bahwa para orang tua pun berlomba-lomba menyodorkan anak gadisnya yang masih di bawah umur kepada laki-laki Arab itu dengan harapan dapat dikawini untuk mendapatkan ”berkah” karena mereka meyakini yang datang itu adalah keturunan Nabi. Para ulama tidak mempermasalahkan hal itu karena menurut mereka itu bukan perzinahan, melainkan perkawinan yang sah. Memang jika dilihat dari definisi nikah ala Imam Syafii, perbuatan itu dapat dikategorkan sebagai perkawinan. Namun, apakah kita hanya melihat aspek teologisnya saja dan melupakan  dampak sosial yang ditimbulkan. Sekarang di daerah sekitar Jakarta-Bandung, khususnya di daerah Gunung Putri, Bogor ditemukan sejumlah bayi berwajah Arab yang tidak diketahui siapa ayahnya, sementara ibunya masih di bawah umur dan sudah menjadi janda. Bagaimana masa depan anak-anak dan ibu-ibu muda tersebut? Mereka tidak punya perlindungan hukum sama sekali. Ana-anak tersebut tidak punya Akta Lahir sedang ibu mereka juga tidak punya Akta Nikah. Akta Lahir bagi  seorang anak hanya bisa diperoleh jika orang tuanya punya Akta Nikah. Menghadapi problem sosial seperti ini sudah waktunya kita mengkritisi definisi nikah yang selama ini kita perpegangi. Apakah nikah itu sekedar untuk melampiaskan hasrat biologis? Apakah rukun nikah cukup hanya dengan lima aspek, ijab qabul, calon suami, calon isteri, wali dan saksi? Perlu ada ijtihad baru agar dapat merespon persoalan sosial yang muncul di masyarakat.
CLD atas KHI ini menawarkan perlunya pencatatan dimasukkan menjadi salah satu rukun nikah sehingga tanpa dicatatkan perkawinan itu tidak sah. Hal ini untuk mencegah timbulnya perkawinan sirri, perkawinan di bawah umur, perkawinan kontrak dan berbagai bentuk perkawinan yang sangat berpotensi mengeksploitasi perempuan dan menimbulkan korban di kalangan anak-anak.
Dari lingkungan NU sendiri tidak ada penolakan yang berarti terhadap CLD KHI ini. Barangkali mereka sudah terbiasa dengan perbedaan. Dukungan terbesar justru datang dari kalangan akademik, terutama dari  luar negeri dimana kita bisa menemukan kurang lebih 80 tulisan yang membahas tentang CLD KHI untuk kepentingan tesis dan disertasi. Mereka sangat antusis terhadap perubahan hukum keluarga yang muncul dari Indonesia. Salah satu pasal yang dianggap maju adalah tentang perlindungan anak di luar nikah (ekstra marital chidren). Draf ini dianggap maju karena meletakkan tanggung jawab pemeliharaan anak di luar nikah pada individu, yakni pada ibu dan ayah biologisnya, bukan pada tanggungjawab negara sebagaimana dalam hukum keluarga Eropa. Draf ini pun pernah diseminarkan di beberapa universitas ternama, seperti di Harvard University, Amerika Serikat, di Inggris, Singapura, dan lain-lain. Pada beberapa universitas di dalam negeri pun sudah menjadi kajian akademis dan dihargai sebagai karya intelektual.
Penolakan cukup tajam terhadap CLD KHI ini  muncul dari kelompok “Islam Puritan”.  Saya pernah diundang dalam seminar di Yogyakarta dan dipanelkan dengan Ketua Front Pembela Islam (FPI), Hizbut-Tahrir dan Majlis Mujahidin. Pada forum ini mereka mempertanyakan, mengapa harus ada pencatatan dalam perkawinan sebagai salah satu rukun nikah, bukankan Nabi sendiri tidak melakukannya? Saya jawab, “Jangankan pada masa Nabi Muhammad yang hidup pada abad ke-7, perkawinan Nenek dan kakek saya pun tidak ada pencatatan pernikahannya. Tetapi pada masa itu barangkali tidak menjadi masalah, karena para saksinya masih bisa dipercaya. Pada jaman kita sekarang, salah satu bukti yang menunjukkan seseorang merupakan pasangan suami istri adalah akte nikah. Argumen teologisnya, kita dapat berqiyas ke ayat 282 al-Baqarah yang mewajibkan pencatatan dalam transaskri hutang-piutang. Kalau dalam utang piutang saja wajib dicatatkan, apalagi transaksi perkawinan yang nota bene merupakan transasksi paling penting dalam hidup manusia.
Dalam hal ini, hemat saya, Fatayat NU harus mempunyai visi Islam yang progresif. Jika tidak, maka ia akan sulit menangani berbagai problem sosial kontemporer yang terkait dengan  masalah-masalah perempuan, seperti kekerasan domestik, buruh migran perempuan, perdagangan perempuan, keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan lain-lain. Hemat saya, apa gunanya agama jika ia tidak mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer yang kita hadapi. Bukankah Nabi Muhammad sendiri memfungsikan agama sebagai pembebas, mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi umat, mengatasi moralitas masyarakat pada jamannya, menghapus perbudakan dan mengangkat martabat perempuan sebagai manusia yang utuh.
           
Jaringan Fatayat
Pada masa kepengurusan saya mulai dibangun jaringan kerja  sama dengan LSM-LSM perempuan yang bergerak pada berbagai isu. Kepentingan kita pada waktu itu awalnya adalah meminta teman-teman dari berbagai LSM tadi sebagai narasumber, karena merekalah yang sudah lebih dahulu mengakses perspektif kesetaraan gender, mempunyai keterampilan melatih dan mengetahui bahan-bahan bacaannya.  Dari sanalah jaringan kerja mulai terbina.
Sedangkan dengan organisasi-organisasi lain, hubungannya tidak lebih karena sebagai organisasi payung. Dengan KOWANI, BMOIWI maupun KNPI adalah karena harus ada perwakilan dari berbagai organisasi, tidak terkecuali organisasi Fatayat. Sementara jaringan dengan organisasi internasional karena kita diperkenalkan oleh organisasi penyandang dana (funding)

Hambatan yang Dihadapi
Hambatan yang dirasakan sepanjang yang diamati adalah: Pertama,  Fatayat NU adalah organisasi sayap yang tidak bisa sepenuhnya mandiri. Organisasi Fatayat harus mengacu kepada hasil-hasil Muktamar NU. Kebijakan yang dikeluarkan NU hampir semuanya berimbas kepada organisasi-organisasi otonomnya, tidak terkecuali Fatayat. Kedua, ada perbenturan kapling kerja antara Fatayat dengan Muslimat NU. Misalnya, Fatayat tidak diperkenankan melakukan program kerja tertentu, karena itu sudah menjadi kapling Muslimat NU. Sedihnya, satu sama lain bukan saling mendukung, malah saling bersaing dan sayangnya pula persaingan yang ada sering tidak sehat. Ketiga, belum dilaksanakannya secara tegas aturan pembatasan usia untuk menjadi anggota dan pengurus Fatayat. Di daerah-daerah  ada yang sudah berusia 60 tahun, tetapi masih aktif di Fatayat. Sebaliknya, banyak pula perempuan yang masih muda-muda, tetapi aktif di Muslimat. Mengenai keanggotaan pun  belum juga jelas, karena belum tuntasnya masalah kartu anggota. Keempat, Pengurus Pusat Fatayat NU sebaiknya tidak mengerjakan program teknis yang bersifat operasional, tetapi pada filosofi program dan perumusan kebijakan. Pekerjaan teknis operasional tersebut cukup saja diserahkan kepada wilayah-wilayah, supaya pengurus pusat lebih fokus melakukan perencenaan organisasi jangka panjang dan evaluasi.

Biografi Diri
Saya lahir dan dibesarkan dari lingkungan dengan tradisi Islam yang taat dan ketat. Sebagai perempuan, sejak kecil saya diperkenalkan bahwa aurat perempuan itu bukan hanya tubuh dan rambutnya, melainkan juga suaranya. Karena itu, sejak remaja saya sudah memakai pakaian tertutup dan berkerudung. Ruang gerak saya sering diawasi oleh keluarga, baik oleh kakek maupun paman. Misalnya, saya tidak boleh kos (kontrak rumah atau kamar) saat  mahasiswa karena kuatir bebas dengan laki-laki. Saya pun akhirnya dibelikan rumah yang dekat dengan paman dan setiap saat bisa diawasi. Pandangan-pandangan keislaman saya mulai  “tercerahkan” ketika memasuki pendidikan jenjang S2 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. 
Berkaitan dengan aurat perempuan ini, saya mempunyai pengalaman ketika  terbang dari Madinah ke Kairo dimana saat itu saya sedang menulis disertasi di Mesir. Di pesawat saya bertemu dengan sejumlah perempuan dari Madinan yang memakai cadar. Tetapi ketika penumpang tersebut turun di Kairo, pakaian cadar mereka semua dibuka dan mereka memakai pakaian mini dan ketat melebihi orang-orang Eropa. Kepada salah seorang di antara mereka saya bertanya, “Mengapa di buka?”. Mereka menjawab, “Itu kan hanya pakaian adat”.  Saya hampir shok mendengarnya. Dari pengalaman inilah saya terpacu untuk membaca literatur tentang aurat perempuan. Dari sejumlah literatur yang saya baca, para ulama ternyata berbeda pendapat mengenai aurat perempuan ini, ada yang ketat, moderat, hingga yang liberal.
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., APU, lahir 3 Maret 1958 di Bone, Sulawesi Selatan. Istri dari Ahmad Thib Raya, guru besar Pascasarjana UIN Jakarta. Pendidikan formalnya dimulai dari pesantren As’adiyah, lalu menyelesaikan S1 jurusan Bahasa dan Sastra Arab pada IAIN Alauddin Makassar; selanjutnya S2 Bidang Sejarah Pemikiran Islam; dan S3 Bidang Pemikiran Politik Islam, keduanya di Pascasarjana UIN Jakarta. Selain itu, mengikuti sejumlah pendidikan nonformal, seperti kursus Singkat Democracy and Civil Society di Melbourne, Australia (1998); Kursus Singkat Pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000); Kursus Singkat Advokasi Penegakan HAM dan Demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat (2000); Kursus Singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat (2001); Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia (2001); Manajemen Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002).
Pada 1985,   mulai bekerja sebagai Dosen Luar Biasa di IAIN Alauddin dan di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, disamping menjadi peneliti pada Balai Penelitian Lektur Agama, Makassar. Sejak 1990,  pindah ke Jakarta menjadi peneliti pada Balitbang Departemen Agama Pusat, dan menjadi dosen di beberapa tempat, seperti Institut Ilmu-Ilmu al-Quran, dan Program Pascasarjana UIN Jakarta.
Musdah pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Departemen Agama; Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia, Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas; Anggota Tim Ahli Menteri Tenaga Kerja RI; dan Sekarang Staf Ahli Menteri Agama, Bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional.
Ia menjadi pembicara di berbagai seminar, baik di dalam dan luar negeri. Menulis sejumlah makalah dan buku. Buku yang terpublikasi secara luas diantaranya adalah Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal (Paramadina, 2001)  Islam Menggugat Poligami ( Gramedia, 2004); Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam (2001) dan Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Mizan, 2005) ( Ditulis oleh:  Neng Dara Affiah)

0 komentar:

Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar-Abdalla
(lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967; umur 44 tahun) adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal. Ulil berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa'i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.

Pendidikan

Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 19941999). Pernah nyantri di Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Dia mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saat ini ia sedang menempuh program doktoral di Universitas Boston, Massachussetts, AS.

Keorganisasian

Ulil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid).[siapa?]

Kontroversi

Pada tahun 2003, sekelompok ulama Islam Indonesia dari Forum Ulama Umat Islam mengeluarkan fatwa kematian untuk Ulil[1] untuk sebuah artikel bahwa Ulil menulis di Kompas pada tahun 2002, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam"[2][3] yang dianggap sesat oleh para ulama. Pada bulan Maret 2011, sebuah bom surat yang ditujukan kepada Ulil di Komunitas Utan Kayu meledak, melukai seorang perwira polisi.
Ulil juga membela hak warga Ahmadiyyah, yang merupakan sikap umum dalam Islam konservatif. Dia juga menentang banyak fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia, seperti yang melarang untuk memberi salam Natal untuk orang Kristen.

Referensi


____________________________
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Profil yang ditulis sendiri:
http://ulil.net/about/

Potret diri

Saya lahir pada 11 Januari 1967 di sebuah kampung bernama Cebolek, sebuah desa yang terletak sekitar 30 km ke arah utara dari kota Pati. Bagi yang mengenal sejarah sastraw Jawa, nama desa saya ini diabadikan dalam sebuah serat (istilah Jawa untuk “treatise” dalam bahasa Inggris atau “risalah” dalam bahasa Arab) yang bernama Serat Cebolek. Serat itu mengisahkan tentang seorang kiai mistik pengikut teori wahdatul wujud (kesatuan wujud), yakni Kiai Mutamakkin. Pandangan kiai ini dianggap sebagai “gangguan” oleh penguasa resmi di Keraton Surakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Ketib Anom. Terjadilah pengadilan atas atas Kiai Mutamakkin yang juga dikenal sebagai Kiai Cebolek itu.

Saya adalah generasi kedelapan dari keturunan Kiai Mutamakkin (di desa saya biasa dikenal Mbah Mutamakkin), demikian menurut silsilah yang saya terima dari orang tua saya. Hampir seluruh kiai yang ada di desa saya (termasuk kakek saya dari pihak ibu) adalah keturunan dari Kiai Cebolek ini.

Saya lahir di sebuah lingkungan santri yang sangat tradisional sekali. Kakek saya, Kiai Muhammadun dari desa Pondohan, adalah seorang ‘alim yang meskipun secara keseluruhan pandangan-pandangan keagamaannya fleksibel tetapi juga dalam beberap hal kaku dan “keras”. Dia, misalnya, tidak memperbolehkan seorang perempuan untuk sekolah, mungkin berdasarkan fatwa yang diberikan oleh Ibn Hajar al-Haitami (w. 1566) yang termuat dalam bukunya, “Al-Fatawa al-Haditsiyyah”. Oleh karena itu, tidak ada satupun anak perempuan kakek saya itu yang masuk sekolah. Mereka dididik sendiri secara “partikelir” di rumah oleh kakek saya. Meski demikian, ayah saya (dia lama berguru dengan kakek saya itu) tidak setuju dengan fatwa ini dan lebih memilih menyekolahkan saudara-saudara perempuan saya. Ayah saya semula masih ragu-ragu, tetapi setelah didukung oleh ibu saya, dia akhirnya menjadi mantap pendapatnya. Semula dia, tentu, ragu berlawanan pendapat dengan gurunya sendiri yang sangat dihormati itu. Ibu berpandangan bahwa zaman sudah berubah, dan karena itu dia tak bisa lagi mengikuti pendapat kakek saya, meskipun pendapat itu didasarkan pada “fatwa” ulama yang dianggap sebagai otoritas penting dalam mazhab Syafi’i, yaitu Ibn Hajar al-Haitami. Ibu saya yang tak pernah sekolah itu ternyata berpikir secara kontekstual. Pengalaman kecil dalam keluarga ini mempunyai pengaruh yang mendalam pada diri saya dan membentuk cara saya dalam memahami Islam pada tahap-tahap selanjutnya.

Ayah saya mengelola sebuah pesantren, yaitu Mansajul ‘Ulum (Tempat Menganyam Ilmu). Ini bukan pesantren besar. Santrinya paling banyak adalah 30 orang, pernah mencapai 70, tetapi merosot lagi pada angka semula. Ayah saya memang dikenal keras dalam mendidik santri; tentu “keras” dalam pengertian positif. Dia mendedikasikan diri untuk pengajaran ilmu-ilmu Islam, dan dia tak pernah main-main dengan pekerjaannya itu. Oleh karena itu, dia menuntut ketekunan dan kerja keras dari santri dalam mempelajari ilmu. Karena sikapnya yang “keras” inilah banyak santri yang tak kerasan mondok di pesantren saya. Ayah saya mendidik saya dengan keras sekali. Meskipun kadang-kadang saya merasa bahwa kekerasan itu berlebihan, tetapi secara keseluruhan saya berterima kasih kepada orang-tua yang telah mendidik saya dengan cara yang sangat “spartan”, kadang militeristik. Salah satu didikan penting yang saya peroleh dari ayah adalah di bidang tata-bahasa Arab atau nahwu (nahw). Ayah saya dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki keahlian lebih di bidang ini. Teks dasar yang saya pelajari dulu adalah berjenjang, mulai dari Jurumiyyah, ‘Imrithi, dan Alfiyyah. Itu adalah teks klasik standar yang dipelajari santri-santri di bidang tata-bahasa Arab. Bahasa Arab memiliki tata-bahasa yang rumitnya mungkin sama atau malah melebihi bahasa Latin. Didikan yang keras di bidang tata-bahasa Arab dari ayah saya ini meninggalkan bekas penting pada diri saya: yakni disiplin dalam berpikir dan cermat dalam memakai bahasa. Karena didikan itu pula saya memiliki kecintaan yang mendalam pada bahasa. Ayah saya sendiri adalah pecinta bahasa Arab dan menggubah ribuan syair ber-meter (al-syi’r al-mauzun) dalam bahasa itu, mengikuti cara-cara yang lazim dalam tradisi syair Arab klasik.

Semula tentu saya hanya mencintai bahasa Arab, sebab bahasa itulah yang pertama kali diajarkan secara sistematis dan “ilmiah” pada saya di pesantren. Tetapi kecintaan saya pada bahasa mulai berkembang luas. Saya kemudian mencintai bahasa Indonesia dan dengan minat yang tinggi membaca sejarah sastra Indonesia. Saya membaca untuk pertama kali Majalah Sastra Horison pada tahun 1984 saat saya masih duduk di kelas 2 Aliyah (setingkat SMU), bernama Mathali’ul Falah. Saya membaca majalah itu dengan perasaan yang penuh penghormatan, sebab majalah ini dianggap sebagai satu-satunya otoritas berwibawa dalam bidang sastra Indonesia. Saya kemudian juga mencintai bahasa Jawa. Saya gemar sekali membaca majalah Panjebar Semangat, Jaya Baya, Parikesit, Joko Lodhang, dll. Majalah-majalah itu mungkin sekarang sudah tak terbit lagi, kecuali Panjebar Semangat. Suatu saat saya bermimpi untuk menulis mengenai pentingnya pembaharuan Islam dalam bahasa Jawa, bahasa yang saya cintai itu.

(Saya akan menyambung “potret diri” ini lain kali). Saya sedang sibuk sekarang.

0 komentar:

PERTARUNGAN SAYA DENGAN AYAM SAKTI

 Abu Fahd

Ayam…itulah penyebab ana dahulu keluar dari aliran kebatinan dan ilmu kebal. Ketika ana bangga dengan apa yang ana miliki, yaitu ilmu kebal (tidak mempan dibacok, disiram air keras, dibakar api,dsb), punya ilmu sihir atau ajian (yang katanya karomah) dan bisa melakukan apa saja yang kita inginkan, serta punya bodyguard dari jenis setan (yang katanya khodam/pembantu dari makhluk ghaib). Namun semuanya sirna gara-gara ana dipatok ayam, sakit sekali…!!
Disitulah perlahan-lahan ana mulai sadar bahwa yang ana jalani adalah sesat dan menyesatkan.

Awalnya (sekitar 12 tahun yang lalu), ana ingin menguji ilmu tenaga dalam yang telah ana dapatkan dari guru ana, seorang Kyai besar yang telah menyesatkan ana. Aliran kebatinan dan tenaga dalam yang ana ikuti bermuara kpd tariqat Al Qadiriyah (nisbat kepada Syaikh Abdul Qadir al Jailani). Bertahun-tahun ana terperosok dalam tariqat tersebut. Saksi-saksinya masih ada sampai sekarang, dari orangtua, adik ana sampai teman-teman dekat ana (kalau tidak percaya bisa tanya ke mereka). Setelah ana diisi ilmu tenaga dalam, ana sempat diuji dengan pedang dan golok yang sangat tajam sekali dengan memukulkannya ke kulit ana dengan keras dan mengoyaknya, namun tidak melukai tubuh ana. Ana juga disuruh berwudhu dengan air keras, dan tidak terjadi sesuatu yang memudharatkan pada diri ana, padahal uang logam saja melebur tatkala dimasukkan ke dalam air tersebut, serta ujian-ujian lainnya. Setelah ana merasa yakin akan ilmu yang telah ana miliki, ana pun penasaran ingin menguji sendiri secara diam-diam. Hingga akhirnya ana mendapat ide untuk mengujinya ke seekor ayam jago.

Waktu itu di daerah ana terdapat seekor ayam jago yang terkenal galak sekali dan sering menggangu dan mematuk orang-orang, sehingga banyak orang yang takut mendekati ayam tsb. Ayam tersebut cocok untuk dijadikan sasaran dari ilmu tenaga dalam yang telah ana miliki. Terhadap ayam itu, ana mencoba mengeluarkan ilmu kebal dari serangan musuh (yaitu ayam) yang kemudian ayam tersebut akan ana serang dengan hentakan jarak jauh sehingga kemungkinan besar ayam tersebut akan terpental jauh akibat hentakan yang ana keluarkan.  Akhirnya ana dekati perlahan-lahan ayam tersebut, sambil menantang maut. Setelah dekat, barulah ayam tersebut ana ganggu biar marah. Ayam itu pun marah, dan ambil kuda-kuda untuk siap-siap menyerang ana. Ana juga mempersiapkan kuda-kuda sambil tarik nafas dalam-dalam dan siap untuk mengeluarkan ilmu yang ana miliki. Ketika jarak ana dengan ayam itu sudah sangat dekat, ana hentakkan tenaga dalam yang ada dalam diri ana ke arah ayam itu, dengan harapan ayam itu akan terhentak dan terpental jauh akibat dari tenaga dalam yang ana keluarkan (mirip sekali dengan adegan yang di pilem2 pendekar atau dragon ball). Tapi ternyata…tenaga dalam yang ana keluarkan tidak mempan terhadap ayam itu. Ayam itu tetap berlari menuju ana dan semakin mendekati ana hingga akhirnya ayam itu berhasil mematuk kaki ana dengan sangat keras. Spontan ana kesakitan, tapi ayam itu tetap terus mematuk-matuk kaki ana hingga akhirnya ana berhasil mengeluarkan jurus terakhir, yaitu jurus kaki seribu (kabuurrr….!!).
Itulah awal penyebab ana keluar dari aliran yang menyesatkan. Kenapa bisa mempan dipatuk ayam? padahal ketika dicoba dengan senjata tajam, air keras tidak mempan ke ana?

Setelah ana kabur dari ayam itu, ana mulai berpikir, apa hikmah dari kejadian ini? Kejadian tersebut ana ceritakan kepada guru ana. Guru ana dengan ringannya menjawab, “Berarti kamu lagi sial hari itu”. Ana bertanya lagi, “Bagaimana cara mengetahui sial tidaknya kita pada hari itu?” Guru ana menjawab, “Tidak bisa diketahui, hanya Allah yang tahu.” Ana bertanya dalam hati (karena tidak berani banyak bertanya pada sang guru, apalagi membantah dan mengkritisi), “Kalau tidak bisa diketahui sial tidaknya kita pada hari itu dan hanya Allah yang mengetahui, untuk apa ana bersusah payah mempelajari ilmu-ilmu seperti ini? Toh nanti jika ilmu ini tidak bermanfaat, maka alasannya pasti kamu sedang sial. Bagaimana kalau sialnya setiap hari? Berarti ilmu ini tidak ada manfaatnya?!”

Ya, itu menunjukkan bahwa semua itu tidak ada manfaatnya, bahkan menyelisihi ajaran Islam. Seandainya hal tersebut memiliki manfaat, niscaya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat-sahabatnya pasti akan melakukannya. Tapi kenyataannya tidak. Giginya Rasulullah pernah patah dan berdarah akibat terkena lemparan batu saat berjihad di perang Uhud. Kakinya Rasulullah juga pernah cidera karena jatuh dari kuda. Umar bin Khatthab tewas akibat ditikam dengan senjata tajam, begitu juga Utsman, Ali, dan banyak sahabat yang mati syahid karena berjihad.

Guru ana adalah seorang kyai besar dan terkenal di daerahnya, yaitu Kemang jakarta. Setiap hari banyak didatangi orang dari mana-mana. Dan ana termasuk salah seorang murid yang dekat dengannya.
Setelah ana taubat, buku-buku dan catatan-catatan yang pernah ana miliki dari belajar ilmu tenaga dalam dan kebatinan, ana bakar semua, karena di dalamnya banyak terdapat mantra-mantra atau wirid/hizib untuk sihir (seperti untuk pengasihan, kebal, hipnotis, dan khasiat-khasiat lainnya). Begitu juga jimat-jimat yang sempat ana miliki, ana buang ke sungai dan dibakar habis. Tidak ada yang tersisa semuanya.

Adapun untuk amalan-amalan seperti bacaan atau wiridan yang harus diamalkan setiap harinya (wiridan yang ana baca waktu itu minimal 2 jam perhari, non stop. Pemanasannya dengan cara kirim Al Faithah ke banyak tujuan, ke Nabi, Sahabat, Wali, ulama, sampai ke para malaikat. Bahkan kalau sedang mengamalkan sebuah ilmu, ada tambahan wiridan yang jumlahnya sangat banyak, bisa mencapai ribuan, seperti membaca surat al ikhlas atau ayat kursi setiap hari 5000x dalam keadaan puasa), semua amalan2 seperti itu ana tinggalkan begitu saja dan tidak pernah amalkan sampai sekarang.

Alhamdulillah, akhirnya semuanya hilang dengan sendirinya. Tidak ada efek dan akibat sama sekali dari apa yang pernah ana amalkan.  Semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah-Nya.

Oleh : Abu Fahd Negara Tauhid

____________________
Sumber: http://gizanherbal.wordpress.com/

0 komentar:

ANTARA SEBAB, AKIBAT DAN KEHENDAK ALLOH SWT

Sebab adalah sesuatu yang mendatangkan akibat, sehingga datangnya akibat tentu diawali dengan sebab. Dan yang demikian ini merupakan ketetapan dari Alloh SWT yang berlaku di maya pada ini. Mungkin pada perkara-perkara tertentu hukum sebab-akibat ini tidak berlaku, namun secara umum urusan makhluk berkaitan erat dengan masalah sebab dan akibat. Sehingga tida ada makhluk apapun (baik dari golongan manusia, jin, hewan dsb) dan makhluk manapun (baik di daratan, lautan, planet-planet dsb) yang mampu menggapai keinginan kecuali dengan hukum sebab dan akibat.

Di jagad raya ini tidak ada sebab yang sempurna yang bisamelahirkan akibat dengan sendirinya, namun semua itu aadalah karena kehendaak dari Alloh SWT. Kehendak Alloh SWT merupakan sebab bagi segala sebab. Sehingga kehendak-Nya merupakan kekuatan yang maha dahsyat yang selalu menuntun akibat. Tidak ada sebab apapun bisa melahirkan akibat dengan sendirinya melainkan pasti disertai kehendak Alloh SWT.


Alloh SWT menetapkan pada sebagian sebab hal-hal yang dapat menggaglkan akibat. Adapun kehendak Alloh SWT tidak membutuhkan sebab apapun kecuali kehendak-Nya sendiri. Karena memang Dia tidak bergantung dengan makhluk-Nya tapi makhluk-Nyalah yang selalu bergantung dengan-Nya.


Bila Alloh SWT telah menetapkan, maka tidak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Hanya kehendak-Nyalah yang mampu membatalkan kehendak-Nya. Dialah yang menghendaki sesuatu, kemudian menghendaki lawan yang bisa mencegah terjadinya. Jadi sebab adalah kehendak-Nya dan akibat adalah juga kehendak-Nya.


Hal inilah yang mengharuskan tiap-tiap hamba wajib memasrahkan diri (bertawakal) hanya kepada Alloh SWT. Wallohua’lam.

0 komentar:

Menimbang berat dan kecepatan blog

Dalam membuat blog tentunya kita ingin supaya blog kita tampil semenarik mungkin, ya to? Tapi karena saking semangatnya kita dalam mempercantik blog, kadang-kadang kita sampai melupakan sesuatu yang penting, yaitu masalah berat (size) dan kecepatan (speed) berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuka blog kita.

Walaupun blog kita bagus tapi kalo blog kita lama banget dibukanya maka pengunjungpun jadi enggan untuk singgah di blog kita. Kita tentu pernah kan membuka suatu web/blog yg luama buanget, karena saking lamanya kita akhirnya tidak jadi membuka web/blog tersebut. Nha tentu km gak pingin gitu kan, blogmu jadi miskin pengunjung gara-gara loading membukanya lama.

Nha dibawah ini ada alat untuk mengukur berapa besar ukuran (size) blog dan seberapa cepat loadingnya... Untuk menggunakan alat dibawah ini kamu tinggal memasukkan alamat blog yang ingin di cek. Kemudian hasilnya akan langsung keluar. Hasil yang ditampilkan yaitu : Size, Load Time dan Avarege Speed per KB. Yang perlu diperhatikan adalah "Size", karena "Load Time" dan "Avarege Speed per KB" hasilnya akan selalu berubah-ubah. Jika hasil tes menunjukkan blogmu size-nya lebih dari 100 KB, usahakan untuk menguranginya dengan cara mengurangi pernak-pernik yang kurang begitu berguna seperti jam, kalender, dll. Dengan alat ini km juga bisa membandingkan dengan web/blog kepunyaan orang lain.
Selamat mencoba.

Your domain(s): Masukkan alamat-alamat blog yang akan diukur, pisahkan dengan enter (Maximum 10)

(eg. iwebtool.com)

Jundurrohman


Powered by iWEBTOOL

2 komentar:

Biografi Syaikh al Bani

Beliau adalah Pembaharu Islam (mujadid) pada abad ini. Karya dan jasa-jasa beliau cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu Hadits. Beliau telah memurnikan Ajaran islam terutama dari hadits-hadits lemah dan palsu, meneliti derajat hadits.

Nasab (Silsilah Beliau)

Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota Albania yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu. Ayah al Albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari`at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.

Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum`iyah al-Is`af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida`iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur`an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.

Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.

Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni `an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar. Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya` Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).

Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.

Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Pengalaman Penjara

Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid`ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jami`ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam`iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Beberapa Karya Beliau

Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau yang terkenal adalah :

1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
2. Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
3. Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal maudhu`ah
5. At-Tawasul wa anwa`uhu
6. Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha

Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.

Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami`ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.

Wafatnya

Beliau wafat pada hari Jum`at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi`ah wa jazahullahu`an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na`im al-Muqim.

Sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com//?p=11

1 komentar:

Profil KH. Mahrus Ali

“Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, “Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblak dalam istilah Jawa(atau haul dalam istilah NU-ed) untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.23)

“Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabi’uts tsani 1345H/21Oktober 1926M mencantumkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan setelah kematian (yakni Tahlilan dan Yasinan-ed) adalah Bid’ah yang hina/tercela, namun tidak sampai mengharamkannya. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, keputusan Muktamar, Munas Kombes Nahdhatul Ulama (1926-2004M) LTN NU Jawa Timur Bekerja sama dengan Penerbit Khalista, Surabaya-2004. Cetakan ketiga, Februari 2007 Halaman 15 s/d 17).” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.19)


Bagi warga Sidoarjo, khususnya bagi warga NU, nama KH. Makhrus Ali amat dikenal. Beliau adalah seorang tokoh kyai besar yang telah terjun di medan dakwah. Tapi siapa yang menyangka kalau KH. Makhrus Ali berubah manhajnya dalam beragama yang semula sebagai seseorang yang gemar melakukan tradisi dan amaliah kebid’ahan, kini beralih menjadi seorang Ahlussunnah. Insya Allah.



Biografi dan Perjalanan Ilmiah Mantan Kyai NU

KH. Makhrus Ali adalah seorang mantan Kyai NU, begitulah beliau mengenalkan dirinya dalam tulisan-tulisan beliau. Beliau lahir dan bernasab NU di dusun Telogojero desa Sidomukti kecamatan Giri-Gresik Jatim pada tanggal 28 Desember 1957. Sejak lahir hingga usia 40 tahun, beliau telah menjadikan paham Ahlussunnah wal Jama’ah ala NU sebagai identitas kultural, keagamaan, basis teologi dan dakwahnya.

Beliau adalah adik dari KH. Mujadi, pimpinan ponpes KH. Mustawa Sepanjang-Sidoarjo, menantu Kyai Imam Hanbali (seorang tokoh NU yang disegani di Waru-Sidoarjo), adik ipar KH. Hasyim Hanbali, pimpinan ponpes Asy-Syafi’iyyah dan juga adik ipar dari KH. Abdullah Ubaid, pengasuh ponpes Manba`ul Qur`an Tambak Sumur, Waru-Sidoarjo.

Setelah menamatkan pendidikan di Madrasah MI-NU Sidomukti (1970/1971), beliau meneruskan studinya ke ponpes Langitan Tuban-Jatim selama 7 tahun yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad Marzuqi (mbah Mad) dan KH. Abdullah Faqih. Selama belajar di Langitan, KH. Makhrus Ali sering menjadi bintang kelas dan juara membaca kitab kuning. Bahkan beliau pernah diamanahi untuk mengajar di Langitan selama 2 tahun hingga akhirnya beliau dikirim oleh KH. Abdullah Faqih ke Bangil untuk mengajar di ponpes YAPI yang diasuh oleh Habib Husain Al-Habsyi. Selama di YAPI, beliau dipercaya untuk mengajar materi Nahwu, Sharaf, Fara`idh, Hadits dan tafsir. Beliau juga dipercaya untuk memimpin pondok tersebut bersama ust. Imran (sekarang mengasuh di ponpes Parengan-Lamongan).

Setelah itu beliau melanjutkan studi ke Mekkah, tepatnya di Jama’ah Tahfizhil Qur’an, langsung di bawah bimbingan Syaikh Yasin Al-Banjari, Syaikh Wa’il dan Syaikh Sa’ad bin Ibrahim sambil sesekali ngaji rungon kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani (seorang ulama yang diidolakan dan menjadi panutan Kyai, Habib, Gus dan ulama NU) hingga mengkhatamkan selama 3 tahun.

KH. Makhrus Ali juga berguru kepada Syaikh Yasin Al-Fadani, seorang ahli sanad hadits dan memperoleh ijazah sanad dari beliau untuk ribuan kitab hadits dan fiqih. Selain itu, KH. Makhrus Ali juga belajar kepada Syaikh Husain Abdul Fattah dan Syaikh Abdullah bin Humaid, ketua Qadhi di Saudi Arabia. Beliau juga sempat belajar kepada Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz saat menjabat sebagai ketua Lajnah Daa`imah. Syaikh Bin Baaz adalah seorang ulama mufti yang tuna netra namun paling disegani di Saudi Arabia. KH. Makhrus Ali juga pernah membantu Dr. hikmat Yasin Al-Iraqi untuk menulis Tafsir Ibnu Abi Hatim dan Muhammad bin Ishaq dalam bahasa Arab selama 2 tahun. Beliau juga dipercaya menjadi muadzin sekaligus imam di masjid Al-Husain di Aziziyah-Mekkah selain memberikan cerama agama. Beliau juga menjadi rujukan pertanyaan tentang manasik haji jama’ah haji dari Indonesia di maktab Syaikh Abdul Hamid Mukhtar Sidayu.

Tahun 1987, beliau kembali ke tanah air setelah belajar di Saudi Arabia selama 7 tahun dan mulai terjun di dunia tulis menulis, mengarang buku dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Naskah yang sudah beliau tulis dan terjemahkan sudah amat banyak.

Beliau menikah dengan Hj. Faizah, seorang hafizhah alumni ponpes Nurul Huda Singosari Malang-Jatim, putri dari Kyai Hanbali (seorang tokoh yang disegani di Waru-Sidoarjo yang pernah nyantri langsung kepada Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh ponpes Tebu Ireng Jombang-Jatim).



Masa Lalu Mantan Kyai NU

Sebagaimana pada umumnya kaum tradisionalis NU, kehidupan KH. Makhrus Ali pun bagitu kental dengan tradisi-tradisi yang ada dalam NU, semisal Yasinan, Tahlilan, Istighasahan dan lainnya. Beliau menuturkan, “ Dulu sewaktu saya masih berpendirian antara Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, LDII, Al-Khairiyah, saya selalu memimpin acara tahlilan di tempat saya. Saya anggap acara itu sebagai bacaan dzikir yang baik. Kalau toh tidak sampai kepada mayat, pahalanya juga bisa dimanfaatkan secara pribadi oleh para pembacanya. Hal itu terjadi setelah saya kenal dengan Ust. Habib Husain Al-Habsyi-Bangil (yang sekarang masih berkubang dalam lumpur kesyirikan. Semoga Allah member hidayah kepadanya). Waktu itu saya menjadi salah satu guru di pondok tempatnya mengasuh. Sebelum itu, saya termasuk kolot. Saya selalu mengikuti apa yang diikuti oleh guru-guru saya. Saya termasuk juga hafal Burdah, Barzanji, Tahlilan, Alfiyah, dan Imrithi. Dan banyak kitab kuning yang saya sudah ngelontok (hafal di luar kepala). Waktu itu saya tidak khawatir bila saya mati, saya akan masuk surga. Saya waktu itu menjadi penceramah di kalangan remaja NU di Sidomukti Giri Gresik-Jatim. Saya tidak khawatir lagi bila malaikat maut datang sebab saya ikut agama kakek dan nenek saya.

Ketika saya pulang dari ponpes, saya ikut diba`an. Di ponpes pun saya juga tiap malam Jum’at ikut diba`an dan tahlilan. Saya katakana, saya hafal betul, sampai sekarang kalau ada orang baca diba` keliru, saya masih mengerti kalau dia keliru. Kumpulan saya memang hanya dari kalangan NU. Dan saya mengikuti budaya mereka. Saya tidak mengerti salah, bid’ah, sesat dan kesyirikan dalam amaliah yang saya jalankan. Saya katakan saya tidak tahu. Saya paham ilmu katanya guru.”


Ketika Hidayah Sunnah Menyapa

Menjadi seorang Ahlussunnah adalah impian bagi setiap muslim. Sebab Apa? Karena hanya Ahlussunnah-lah firqah yang benar. Oleh karena itu, kita mendapati setiap kelompok dalam Islam mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah (kecuali Syi’ah). Walaupun secara aqidah dan amaliah mereka tidaklah demikian, tapi justru berlandaskan penyimpangan demi penyimpangan (Syirik, Bid’ah, khurafat dan Tahayul).

Dan inilah yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Ketika hidayah Sunnah menyapa, beliaupun menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau menuturkan, “Sewaktu kyai saya datang ke rumah, ketika saya membaca buku fatawa Mahmud Syaltut, Kyai saya bilang, “Jangan membaca kitab seperti itu!”

Mungkin maksudnya agar saya mengikuti paham salafiyyah ala pesantren NU, dan masih belum waktunya untuk membaca buku seperti itu. Sebab, Syaltut adalah rektor Al-Azhar yang pikirannya terbuka dan memilih yang benar dari beberapa pandangan ulama, tidak terikat kepada salah satu golongan. Saya sudah memegang buku bahasa karangan bahasa Arab karangan rektor Al-Azhar itu ketika usia saya baru 16 tahun.”

Beliau melanjutkan, “Bila saya bertemu dengan kyai, saya mencium tangannya. Saya tidak berani berbicara di mukanya. Memang begitulah budaya santri. Sekarang saya sudah mengerti bahwa para sahabat bila bertemu dengan Rasulullah tidak pernah mencium tangan. Dan saya belum tahu haditsnya dimana para sahabat mencium tangan Rasulullah.”

Selama 40 tahun KH. Makhrus Ali berkubang di dalam tradisi dan amaliah yang bid’ah dan syirik. Namun hidayah datang kepada beliau. Beliau menceritakan keadaan dirinya saat ini, “Sekarang saya sudah bisa mengkaji ilmu dan bisa mencari mana yang benar karena anugerah dari Allah dan rahmat-Nya. Saya pilih mana yang tidak menyimpang dan yang cocok dengan dalil. Saya jadi geleng-geleng kepala ketika mengenang perbuatan saya waktu dulu. Pikir saya, mengapa tidak dari dulu saya ikut aliran Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ah…itu semua tidak bisa diperkirakan.”

KH. Makhrus Ali melanjutkan cerita, “Hati saya berontak dengan ajaran tradisional, tapi mulut saya tidak bisa bicara. Pikiran tidak cocok, tapi mau mendebat tidak punya ilmu. Setelah banyak pengalaman, ilmu saya selalu diluruskan dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka ilmu tradisional yang telah mendalam di lubuk hati dan pikiran waktu dahulu, kini terbuang. Entah kemana, mungkin ke recycle bin atau keranjang sampah. Saya yang dulu lain dengan yang sekarang. Ilmu saya dulu ngambang, mengaku benar tapi menurut saya sendiri dan golongan saya. Bila saya mati, saya sudah merasa yakin akan masuk surga menurut pemahaman saya dan golongan saya. Jadi surga-surgaan sebagaimana layaknya orang non-muslim mengaku akan masuk surga. Inilah yang saya khawatirkan.”

“Di saat saya belum berpikir sebagaimana pemikiran Ahli Hadits (yakni Ahlussunnah-pen), ilmu saya hanya taklid, tidak ingin ada pikiran untuk mengkaji suatu hadits atau suatu ajaran dan tidak ada agenda kesana. Atau memang belum mendapatkan pertolongan dan hidayah dari Allah untuk membuang bid’ah, syirik, khurafat, taklid buta, menolak hadits, menolak ajaran “baru” yang benar yang menghapus khurafat dan ajaran sesat dari hati saya”, lanjut beliau.

Beliau menerangkan lagi, “Apalagi menurut Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy atau Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (rahimahumullaah, semuanya adalah nama-nama ulama Ahlusunnah yang tidak dikenal oleh kalangan NU, padahal orang-orang NU mengaku diri mereka sebagai Ahlussunnah-ed), maka saya termasuk penyembah kuburan, suka kebid’ahan dan matinya berbahaya.”

Akhirnya beliau tinggalkan seluruh ritual dan amaliah yang bid’ah dan syirik yang dahulu beliau amalkan ketika masih berpaham NU. Dan sekarang beliau senantiasa mendakwahkan kepada manusia bahwa amalan-amalan yang mayoritasnya diamalkan oleh kaum Nahdhiyin adalah bid’ah dan harus ditinggalkan.

Jalan hidayah tidaklah selalu mulus. Akan ada penghalang dan penentang yang tidak setuju apabila seseorang mengubah keyakinannya yang semula berkubang dengan kebid’ahan dan beralih kepada manhaj Ahlussunnah yang haq. Demikian juga yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Beliau menuturkan, “Sekarang saya ikut aliran ahli hadits(ahlussunnah-ed), disalahkan oleh ibu saya, keluarga saya dan golongan saya dulu. Saya pikir di dunia ini yang penting adalah lurus dan ajaran saya cocok dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan yang jelas harus beda dengan ahli bid’ah.”

Melalui penanya yang tajam, beliau mengkritisi setiap tradisi dan amaliah menyimpang yang banyak dilakukan oleh kaum tradisional. Bukan hanya dari kalangan awwam saja, namun dari para tokoh yang dijunjung tinggi pun masih banyak yang bergelimang dalam kebid’ahan.

Inilah sosok seorang Kyai yang telah kembali kepada ajaran Islam yang murni, Ahlussunnah yang sesungguhnya. Ya, Ahlussunnah. Dinamakan demikian karena Ahlussunnah adalah lawan dari bid’ah dan ahlinya. Kalau ada golongan atau kelompok yang berkubang dalam kebid’ahan namun mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah, maka klaim itu hanya sebatas klaim dusta.

Kita berdoa kepada Allah agar para kyai yang kini tengah berkubang dalam kebid’ahan mendapatkan hidayah sehingga mereka bisa meninggalkan kebid’ahan mereka, sehingga mereka betul-betul menjadi sosok alim yang faqih yang bisa dijadikan umat sebagai rujukan ilmu dan bisa mewujudkan Al-‘Ulamaa` waratsatul Anbiyaa` (Para ulama adalah pewaris para nabi). Aamiin.





(Ditulis ulang dengan pengeditan dan penambahan seperlunya dari buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighasahan dan Ziarah para Wali” karya KH. Mahrus Ali)

Oleh Al-Faqir Ilallaah Aqil Azizi

0 komentar: